Saturday 7 June 2014

Mendidik dengan Pujian



Mendidik dengan Pujian


(Belajar dari Ayahanda Ibn Sahnun
dan Prof. Rhenald Kasali)





MENDIDIK dengan pujian tentu memerlukan uraian yang lebih teoritik dan aplikatif. Demikian pula budaya menghukum (menghakimi) yang masih kerap diterapkan oleh para pendidik menjadi satu sisi yang menarik untuk diperdebatkan. Saya tidak dalam kapasitas untuk itu, tapi dua penggalan kisah berikut mungkin menarik untuk dapat dijadikan sebagai bahan diskusi.

**********************

KISAH PERTAMA, Surat yang ditulis oleh Ayahanda Ibnu Sahnun kepada guru putranya. Demikian kisahnya : Abủ ‘Abdallāh Muhammad ibn Sahnủn ibn Habib al-Tanủkhi atau lebih dikenal dengan Ibn Sahnun ialah seorang ulama’ ahli fiqh dan pendidik yang ahli. Beliau lahir pada tahun 202 H. Sejak kecil, Ibn Sahnun sudah menunjukkan kecerdasannya dalam belajar. Ayahnya -- Abủ Sa’id ‘Abd al Salām Ibn Sa’id al-Tanủkhi, lebih dikenal sebagai Sahnủn -- adalah gurunya yang pertama. Kitab Adab mủallimin (The Book of Conduct for Teachers) dan kitab Ajwibah adalah dua diantara sekian banyak karya Ibn Sahnun yang masih menjadi rujukan hingga kini.

Ayahnya benar-benar mempersiapkan Ibn Sahnun secara intelektual dan akademik. Selain itu keadaan sosial di kawasan-kawasan Qayrawan pada saat Ibn Sahnun lahir, sangat menunjang pengembaraan intelektualnya. Perhatian ayahnya terlihat dari yang ditulis beliau kepada gurunya ketika ingin menghantar Ibn Sahnun ke Kuttab (sekolah al-Quran), seperti berikut :


Muhammad Ibn Sahnun : His father  sent him to Qur’anic School to learn Al-Qu’an and Arabic writing, and wrote to the teacher requesting him to teach his son (Muhammad Ibn Sahnun) in the following manner :

"Teach my son by praising him (appreciating) and speaking softly to him. He is not the type of person that should be trained under punishment or abuse. I hope that my son will be unique and rare among his companions and peers. I want him to emulate me in the seeking of knowledge “. [1]

Muhammad Ibn Sahnun : Ayahnya mengirimnya ke sekolah untuk belajar Al-Qur'an dan menulis dalam bahasa Arab, dan ayahnya menulis kepada guru anaknya (Muhammad Ibn Sahnun) yang meminta dia untuk mengajarinya dengan cara sebagai berikut :

"Ajarkan anak saya dengan memuji dia (menghargai) dan berbicaralah lembut padanya. Dia bukan tipe orang yang harus dididik di bawah hukuman atau caci maki. Saya berharap bahwa anak saya akan menjadi unik dan menonjol di kalangan sahabat dan rekan-rekannya. Saya ingin dia untuk meniru saya dalam mencari pengetahuan".

*********************

KISAH KEDUA, dimana saya ingin mengutip cerita dari pengalaman Prof. Rhenald Kasali (Guru Besar FE UI) dalam Forum Ayah Bunda Anak Indonesia di bawah judul “Budaya Menghukum dan Menghakimi para Pendidik di Indonesia”. [2]

Demikian cerita Prof. Rhenald Kasali : Lima belas tahun lalu saya pernah mengajukan protes pada guru sebuah sekolah tempat anak saya belajar di Amerika Serikat. Masalahnya, karangan berbahasa Inggris yang ditulis anak saya seadanya itu telah diberi nilai E (excellence) yang artinya sempurna, hebat, bagus sekali. Padahal dia baru saja tiba di Amerika dan baru mulai belajar bahasa.

Karangan yang dia tulis sehari sebelumnya itu pernah ditunjukkan kepada saya dan saya mencemaskan kemampuan verbalnya yang terbatas. Menurut saya tulisan itu buruk, logikanya sangat sederhana. Saya memintanya memperbaiki kembali, sampai dia menyerah.

Rupanya karangan itulah yang diserahkan anak saya kepada gurunya dan bukan diberi nilai buruk, malah dipuji. Ada apa ? Apa tidak salah memberi nilai ? Bukankah pendidikan memerlukan kesungguhan ? Kalau begini saja sudah diberi nilai tinggi, saya khawatir anak saya cepat puas diri.

Sewaktu saya protes, ibu guru yang menerima saya hanya bertanya singkat. “Maaf Bapak dari mana?”

Dari Indonesia,” jawab saya.

Dia pun tersenyum.

Pertemuan itu merupakan sebuah titik balik yang penting bagi hidup saya. Itulah saat yang mengubah cara saya dalam mendidik dan membangun masyarakat.

Saya mengerti,” jawab ibu guru yang wajahnya mulai berkerut, namun tetap simpatik itu. “Beberapa kali saya bertemu ayah-ibu dari Indonesia yang anak anaknya dididik di sini,” lanjutnya. “Di negeri Anda, guru sangat sulit memberi nilai. Filosofi kami mendidik di sini bukan untuk menghukum, melainkan untuk merangsang orang agar maju. Encouragement !”, Dia pun melanjutkan argumentasinya.

Saya sudah 20 tahun mengajar. Setiap anak berbeda-beda. Namun untuk anak sebesar itu, baru tiba dari negara yang bahasa ibunya bukan bahasa Inggris, saya dapat menjamin, ini adalah karya yang hebat,” ujarnya menunjuk karangan berbahasa Inggris yang dibuat anak saya.

Dari diskusi itu saya mendapat pelajaran berharga. Kita tidak dapat mengukur prestasi orang lain menurut ukuran kita.

Saya teringat betapa mudahnya saya menyelesaikan study saya yang bergelimang nilai “A”, dari program master hingga doktor.

Sementara di Indonesia, saya harus menyelesaikan studi jungkir balik ditengarai ancaman drop out dan para penguji yang siap menerkam. Saat ujian program doktor saya pun dapat melewatinya dengan mudah.

Pertanyaan mereka memang sangat serius dan membuat saya harus benar-benar siap. Namun suasana ujian dibuat sangat bersahabat. Seorang penguji bertanya dan penguji yang lain tidak ikut menekan, melainkan ikut membantu memberikan jalan begitu mereka tahu jawabannya. Mereka menunjukkan grafik-grafik yang saya buat dan menerangkan seterang-terangnya sehingga kami makin mengerti.

Ujian penuh puja-puji, menanyakan ihwal masa depan dan mendiskusikan kekurangan penuh keterbukaan.

Pada saat kembali ke Tanah Air, banyak hal sebaliknya sering saya saksikan. Para pengajar bukan saling menolong, malah ikut  “menelan” mahasiswanya yang duduk di bangku ujian.

*************************

Budaya menghukum (menghakimi) dan mendidik dengan pujian adalah dua hal yang harus ditakar secara proporsional. Namun, apa yang telah dikemukakan di atas menjadi menarik sebagai bahan diskusi bagi kita dan para pendidik. Kesimpulannya tentu akan kembali pada lingkungan dan cara pandang kita masing-masing. @ Andi Himyatul Hidayah

 Kuala Lumpur, 08 Juni 2014

____________________________


Bacaan : 

[1] Ibn Sahnủn, “The Book of Rules of Conduct for Teachers”. Translated by Michael Fishbein. Dalam Classical Foundations of Islamic Educational Thought. A Compendium of Parallel English – Arabic text selected and introduced by Bradley J. Cook with assistance from Fathi H. Malkawi. Bringham Young University Press, Provo, Utah, 2010


[2] Rhenald Kasali, “Budaya Menghukum dan Menghakimi para Pendidik di Indonesia”, Forum Ayah Bunda Anak Indonesia