Mendidik
dengan Pujian
(Belajar
dari Ayahanda Ibn Sahnun
dan Prof.
Rhenald Kasali)
MENDIDIK dengan pujian tentu memerlukan uraian yang lebih teoritik dan aplikatif. Demikian
pula budaya menghukum (menghakimi) yang masih kerap diterapkan oleh para pendidik menjadi
satu sisi yang menarik untuk diperdebatkan. Saya tidak dalam kapasitas untuk
itu, tapi dua penggalan kisah berikut mungkin menarik untuk dapat dijadikan
sebagai bahan diskusi.
**********************
KISAH
PERTAMA, Surat yang ditulis oleh Ayahanda Ibnu Sahnun kepada guru putranya.
Demikian kisahnya : Abủ ‘Abdallāh Muhammad ibn Sahnủn ibn Habib al-Tanủkhi atau
lebih dikenal dengan Ibn Sahnun ialah seorang ulama’ ahli fiqh dan pendidik yang
ahli. Beliau lahir pada tahun 202 H. Sejak kecil, Ibn Sahnun
sudah menunjukkan kecerdasannya dalam belajar. Ayahnya -- Abủ Sa’id ‘Abd al Salām
Ibn Sa’id al-Tanủkhi, lebih dikenal sebagai Sahnủn -- adalah gurunya yang pertama. Kitab Adab mủallimin (The Book of
Conduct for Teachers) dan kitab Ajwibah adalah dua
diantara sekian banyak karya Ibn Sahnun yang masih menjadi rujukan hingga kini.
Ayahnya benar-benar
mempersiapkan Ibn Sahnun secara intelektual dan akademik. Selain itu keadaan
sosial di kawasan-kawasan Qayrawan pada saat Ibn Sahnun lahir, sangat menunjang
pengembaraan intelektualnya. Perhatian ayahnya terlihat dari yang ditulis beliau kepada gurunya ketika ingin
menghantar Ibn Sahnun ke Kuttab (sekolah al-Quran), seperti berikut :
Muhammad Ibn Sahnun : His father sent him to Qur’anic School to learn Al-Qu’an
and Arabic writing, and wrote to the teacher requesting him to teach his son
(Muhammad Ibn Sahnun) in the following manner :
"Teach my son
by praising him (appreciating) and speaking softly to him. He is not the type
of person that should be trained under punishment or abuse. I hope that my son
will be unique and rare among his companions and peers. I want him to emulate
me in the seeking of
knowledge “. [1]
Muhammad
Ibn Sahnun : Ayahnya mengirimnya ke sekolah untuk belajar Al-Qur'an dan menulis
dalam bahasa Arab, dan ayahnya menulis kepada guru anaknya (Muhammad Ibn
Sahnun) yang meminta dia untuk mengajarinya dengan cara sebagai berikut :
"Ajarkan
anak saya dengan memuji dia (menghargai) dan berbicaralah lembut padanya. Dia
bukan tipe orang yang harus dididik di bawah hukuman atau caci maki. Saya
berharap bahwa anak saya akan menjadi unik dan menonjol di kalangan sahabat dan
rekan-rekannya. Saya ingin dia untuk meniru saya dalam mencari
pengetahuan".
*********************
KISAH KEDUA, dimana saya ingin mengutip cerita dari
pengalaman Prof. Rhenald Kasali (Guru Besar FE UI) dalam Forum Ayah Bunda Anak Indonesia di bawah judul “Budaya Menghukum dan Menghakimi para Pendidik di
Indonesia”. [2]
Demikian cerita Prof. Rhenald Kasali : Lima
belas tahun lalu saya pernah mengajukan protes pada guru sebuah sekolah tempat
anak saya belajar di Amerika Serikat. Masalahnya, karangan berbahasa Inggris
yang ditulis anak saya seadanya itu telah diberi nilai E (excellence) yang
artinya sempurna, hebat, bagus sekali. Padahal dia baru saja tiba di Amerika
dan baru mulai belajar bahasa.
Karangan
yang dia tulis sehari sebelumnya itu pernah ditunjukkan kepada saya dan saya
mencemaskan kemampuan verbalnya yang terbatas. Menurut saya tulisan itu buruk,
logikanya sangat sederhana. Saya memintanya memperbaiki kembali, sampai dia
menyerah.
Rupanya
karangan itulah yang diserahkan anak saya kepada gurunya dan bukan diberi nilai
buruk, malah dipuji. Ada apa ? Apa tidak salah memberi nilai ? Bukankah
pendidikan memerlukan kesungguhan ? Kalau begini saja sudah diberi nilai tinggi,
saya khawatir anak saya cepat puas diri.
Sewaktu
saya protes, ibu guru yang menerima saya hanya bertanya singkat. “Maaf Bapak
dari mana?”
“Dari
Indonesia,” jawab saya.
Dia
pun tersenyum.
Pertemuan
itu merupakan sebuah titik balik yang penting bagi hidup saya. Itulah saat yang
mengubah cara saya dalam mendidik dan membangun masyarakat.
“Saya
mengerti,” jawab ibu guru yang wajahnya mulai berkerut, namun tetap simpatik
itu. “Beberapa kali saya bertemu ayah-ibu dari Indonesia yang anak anaknya
dididik di sini,” lanjutnya. “Di negeri Anda, guru sangat sulit memberi nilai.
Filosofi kami mendidik di sini bukan untuk menghukum, melainkan untuk
merangsang orang agar maju. Encouragement !”, Dia pun melanjutkan
argumentasinya.
“Saya
sudah 20 tahun mengajar. Setiap anak berbeda-beda. Namun untuk anak sebesar
itu, baru tiba dari negara yang bahasa ibunya bukan bahasa Inggris, saya dapat
menjamin, ini adalah karya yang hebat,” ujarnya menunjuk karangan berbahasa
Inggris yang dibuat anak saya.
Dari
diskusi itu saya mendapat pelajaran berharga. Kita tidak dapat mengukur prestasi
orang lain menurut ukuran kita.
Saya
teringat betapa mudahnya saya menyelesaikan study saya yang bergelimang nilai
“A”, dari program master hingga doktor.
Sementara
di Indonesia, saya harus menyelesaikan studi jungkir balik ditengarai ancaman
drop out dan para penguji yang siap menerkam. Saat ujian program doktor saya
pun dapat melewatinya dengan mudah.
Pertanyaan
mereka memang sangat serius dan membuat saya harus benar-benar siap. Namun
suasana ujian dibuat sangat bersahabat. Seorang penguji bertanya dan penguji
yang lain tidak ikut menekan, melainkan ikut membantu memberikan jalan begitu
mereka tahu jawabannya. Mereka menunjukkan grafik-grafik yang saya buat dan
menerangkan seterang-terangnya sehingga kami makin mengerti.
Ujian
penuh puja-puji, menanyakan ihwal masa depan dan mendiskusikan kekurangan penuh
keterbukaan.
Pada
saat kembali ke Tanah Air, banyak hal sebaliknya sering saya saksikan. Para
pengajar bukan saling menolong, malah ikut “menelan” mahasiswanya yang duduk di
bangku ujian.
*************************
Budaya
menghukum (menghakimi) dan mendidik dengan pujian adalah dua hal yang harus ditakar secara
proporsional. Namun, apa yang telah dikemukakan di atas menjadi menarik sebagai
bahan diskusi bagi kita dan para pendidik. Kesimpulannya tentu akan kembali pada lingkungan dan cara pandang
kita masing-masing. @ Andi Himyatul Hidayah
Kuala Lumpur, 08 Juni 2014
____________________________
Kuala Lumpur, 08 Juni 2014
____________________________
Bacaan :
[1] Ibn Sahnủn, “The Book of Rules of Conduct for Teachers”. Translated by Michael Fishbein. Dalam Classical Foundations of Islamic Educational Thought. A Compendium of Parallel English – Arabic text selected and introduced by Bradley J. Cook with assistance from Fathi H. Malkawi. Bringham Young University Press, Provo, Utah, 2010
[1] Ibn Sahnủn, “The Book of Rules of Conduct for Teachers”. Translated by Michael Fishbein. Dalam Classical Foundations of Islamic Educational Thought. A Compendium of Parallel English – Arabic text selected and introduced by Bradley J. Cook with assistance from Fathi H. Malkawi. Bringham Young University Press, Provo, Utah, 2010
[2] Rhenald Kasali, “Budaya Menghukum dan
Menghakimi para Pendidik di Indonesia”, Forum Ayah Bunda Anak Indonesia
No comments:
Post a Comment
Note: only a member of this blog may post a comment.