Tuesday 26 January 2016

(Bag. 03) Aku, Khansa dan Kuala Lumpur



Aku, Khansa dan Kuala Lumpur
Oleh : Andi Himyatul Hidayah

… Ya Allah, segala yang aku cintai yang telah
Engkau karuniakan kepadaku, jadikanlah itu
sebagai kekuatanku untuk melakukan hal-hal
yang Engkau sukai … “ (HR At-Tirmidzi)

(Bagian Terakhir dari Tiga Tulisan) 



Baca Juga Bagian Kedua : DI SINI
---------------------------------------------

Kuala Lumpur, Sepotong Doa Buat Khansa

Hari itu 26 November 2012 dimana Khansa mulai mempersiapkan diri menghadapi ujian semesternya ketika sebuah traffic accident menimpa diriku, Khansa dan suamiku. Di hari yang naas itu tepat 55 hari Khansa menjalani hari-harinya sebagai siswa SIKL. Tidak biasanya saya berkeinginan menemani suamiku untuk menjemput Khansa pulang sekolah dengan mengendarai sepeda motor. Entah firasat apa sehingga aku ‘ngotot’ turut menjemput Khansa hari itu, sekalipun aku masih cukup lelah sepulang dari Singapura,

Ketika kami bergerak pulang ke rumah hanya berjarak beberapa meter di depan PWTC (Putra World Trade Centre) yang belum begitu jauh dari SIKL, sebuah mobil jeep kembara bergerak membabi buta ke arah kami. Di tengah kejadian yang begitu cepat tanganku refleks merangkul tubuh Khansa. Mendekapnya sebisa mungkin. Di saat yang bersamaan meluncur sepotong doa dari bibirku, “Allahu Akbar, Astagfirullah, Ya Allah, selamatkan Khansa dan suamiku”.  Hanya hitungan detik … brakk … setelah itu segalanya menghilang dari pusat kesadaranku.

Walau mataku masih terpejam, tapi entah berapa lama setelah itu bayangan tentang kelima anakku hadir seperti mimpi dalam tidurku. Sesaat kemudian aku mulai merasakan kehadiran diriku, benar-benar kaku tak berdaya. Sejumlah peralatan medis mulai kurasakan menempel di tubuhku. Aku tidak segera dapat mengingat seluruhnya, tapi bayangan anak-anakku menggetarkan doa di sela keheningan kalbuku. “Ya Allah, perkenankan hambamu ini untuk terus bertahan demi putra-putriku”, doaku membatin sebelum keheningan itu datang lagi.

Tujuh belas hari tubuhku terbujur kaku di bangsal (ward) 6 Hospital Kuala Lumpur -- berjuang melawan maut -- . Tulang lengan kiri, tulang rusuk, tulang paha kanan dalam kondisi fracture (patah),  cedera di bagian kepala, serta luka besar di betis kanan. Morfin  terinjeksi secara berkala ke dalam tubuhku untuk meredam rasa sakit yang luar biasa, membuatku kadang terhalusinasi sebagai efek narcosis. Oksigen tersuplai terus menerus untuk membantu paru-paruku yang sulit mengembang. Sementara dokter harus melakukan tindakan operasi pemasangan proximal femoral nail untuk menyangga tulang paha kananku yang patah. 

Tragis, aku baru mengetahui semuanya setelah kondisiku mulai membaik kalau Khansa dan aku harus dievakuasi dari bawa mobil dimana ban mobil belakang berhenti tepat di atas dada kiriku. Semua saksi mata yang melihat kami di tempat kejadian menyangsikan bila aku dapat bertahan. Sementara Khansa yang dalam dekapanku ketika itu tidak mengalami cedera sedikit pun. Subehanallah, Allah Yang Maha Pengasih masih berkenan mendengar doaku. Doa seorang ibu. 

Ketika aku menulis kisah ini keadaanku belum sepenuhnya pulih. Aku dan Khansa menatap panorama Kuala Lumpur dari balik jendela. Kuala Lumpur, kota yang mengajarkanku arti dari sebuah pengorbanan, ketulusan, cinta dan rasa syukur.

Kuala Lumpur, Juni 2013
Andi Himyatul Hidayah

****************************

(Bag. 02) Aku, Khansa dan Kuala Lumpur



Aku, Khansa dan Kuala Lumpur
Oleh : Andi Himyatul Hidayah

… Ya Allah, segala yang aku cintai yang telah
Engkau karuniakan kepadaku, jadikanlah itu
sebagai kekuatanku untuk melakukan hal-hal
yang Engkau sukai … “ (HR At-Tirmidzi)

(Bagian Kedua dari Tiga Tulisan)



Baca Bagian Pertama : DI SINI
--------------------------------------


Kuala Lumpur dan Keputusan Memindahkan Khansa di SIKL

Suamiku yang kebetulan mendapatkan kesempatan melanjutkan studi PhD-nya di salah satu Universitas ternama di Kuala Lumpur Malaysia melengkapi kesunyianku. Beberapa tahun sebelumnya aku rela melepas kedua putra-putri tertuaku (Raihan dan Ghariza) yang harus ‘mondok’ di Pesantren hafidz Al-Qur’an milik keluarga Almarhum Anregurutta Lanre Said. Aku tentu dapat menghubungi dan mengunjungi mereka kapan saja, 

Namun, keutuhan dan kebersamaan anggota keluarga dalam satu rumah menjadi harapan indah terutama buat sang ibu. Tapi waktu terus berjalan, dan akan ada masa dimana orang tua harus ikhlas melepas buah hatinya karena alasan menuntut ilmu di tempat lain misalnya. Anak-anak akan pergi meninggalkan rumah satu per satu adalah hal yang merisaukanku, tapi sesuatu yang tidak mungkin kuhindari. Pada waktunya anak-anak akan pergi untuk menjemput masa depannya sendiri.

Keputusan suamiku memboyong Khansa ke Kuala Lumpur awalnya cukup merisaukanku. Aku tentu tidak membiarkan Khansa meninggalkanku di usianya yang  masih sangat belia, sekalipun suamiku ada disampingnya. Bila aku menyertainya akan memberatkan langkahku karena harus menjauh dari putra-putri tertuaku yang tengah belajar di Pondok Pesantren. 

Namun, aku pun akhirnya menyambut keputusan suamiku, menyekolahkan Khansa (kelas III SD) di Kuala Lumpur Malaysia, sekalipun keputusan itu sedikit terburu-buru. “Khansa akan punya pengalaman baru, lagi pula biaya sekolah di sana masih cukup terjangkau. SIKL (Sekolah Indonsia Kuala Lumpur) adalah sekolah Indonesia milik KBRI di Malaysia dimana kurikulumnya sama dengan Sekolah di Indonesia”, kata suamiku meyakinkanku. Aku kemudian menyanggupinya dengan harapanku Khansa akan mendapatkan kesempatan. Kesempatan untuk  berinteraksi dengan teman-teman baru, pengalaman-pengalaman baru dari lingkungan yang berbeda sebagai bekal untuk masa depannya nanti. Lagi pula di saat yang bersamaan kehadiranku akan turut membantu suamiku untuk kelancaran studinya.

Di penghujung September 2012, aku, Khansa dan kedua bocah kembarku (‘Ali dan ‘Ulayyah) bertolak ke Kuala Lumpur. Aku berharap Kuala Lumpur menyambutku yang tidak pernah kubayangkan kelak kami akan tinggal di kota ini. Berada di lingkungan yang secara kultural tidak begitu berbeda dengan kota asal kami sedikit melegakanku. Aku hanya berharap proses kepindahan Khansa ke sekolah barunya dapat berjalan mulus.

Memasukkan anak di Sekolah Indonesia Kuala Lumpur (Indonesian School of Kuala Lumpur) sebetulnya bukan hal yang mudah. Seorang calon peserta didik harus melalui proses testing dan memenuhi persyaratan administrasi. Tapi kami beruntung karena semua persyaratan yang diperlukan telah kami penuhi. Status suamiku sebagai pemegang student visa menjadi salah satu jalan mulus buat Khansa. Karena kuota siswa yang terbatas untuk SIKL termasuk pertimbangan urusan visa tinggal, maka prioritas diberikan kepada anak-anak yang orangtuanya adalah pekerja profesional, ekspatriat, pelajar asal Indonesia atau anak dari orang tua pemegang IC merah/ IC biru (permanent resident). 

Sekalipun SIKL tetap mengikuti standar kurikulum seperti halnya sekolah di Indonesia, tapi sekolah ini memiliki banyak keunggulan dibanding sekolah yang sama di tanah air. SIKL sebagai pusat kegiatan pendidikan dan kebudayaan masyarakat Indonesia di Malaysia dibina oleh tenaga-tenaga pendidik yang memiliki standar kompetensi yang tidak diragukan. Semua satuan pendidikan SD, SMP dan SMA di bawah binaan SIKL terakreditasi A oleh BAN S/M (Badan Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah). Instrumen ini penting buat orang tua dalam mendapatkan layanan pendidikan yang baik buat putra-putrinya.

Sekalipun kami harus mengeluarkan biaya untuk proses kepindahan Khansa di SIKL, tapi kami cukup puas dengan layanan pendidikan dan pengajaran dari pihak sekolah. Sesuatu yang patut menjadi contoh buat sekolah-sekolah kita di Indonesia. Dalam upaya meningkatkan wawasan dan keilmuan peserta didik misalnya, SIKL secara rutin menyelenggarakan kegiatan Pembelajaran Berbasis Proyek (Project Based Learning) bagi siswa berupa kegiatan luar sekolah dengan mengunjungi tempat-tempat yang menjadi sumber pembelajaran siswa. 

Disamping itu, Khansa sangat menikmati program kelas tambahan gratis di luar jam sekolah (ekstrakokurikuler) untuk seni rupa dan bahasa Inggeris yang disediakan oleh pihak sekolah. Ada banyak pilihan lainnya antara lain : bela diri, seni musik dan seni tari. Kami sangat apresiatif dengan kegiatan ekstrakokurikelr ini yang merupakan pilihan bebas bagi siswa. Walaupun kadang-kadang bisa dibatasi sampai tiga pilihan. 

Sudah menjadi tugas rutin untukku mengurus semua keperluan Khansa, termasuk membimbingnya ketika mengerjakan tugas-tugas sekolah. Hanya sesekali menggantikan suamiku mengantar atau menjemput sekolah bila suamiku tidak sempat karena kegiatan studinya. Untuk urusan ini aku hanya mengandalkan komuter (train) sekalipun aku harus jalan kaki sejauh satu kilometer menuju stasiun kereta. Dua bocah kecil yang berumur 4 tahun, si kembar, selalu setia menjadi pengawalku. 

Berada di lingkungan SIKL serasa berada di negeri sendiri. Kebersamaan ibu-ibu SIKL (orang tua siswa) terlihat akrab satu sama lain meskipun mereka punya latar belakang yang berbeda-beda. Keakraban yang sangat ‘indonesia’, walaupun tidak sedikit dari mereka sudah cukup lama bermukim di Malaysia. Kafetaria yang letaknya di halaman depan SIKL kerap menjadi tempat pertemuan ibu-ibu SIKL di saat menunggu anak-anak mereka pulang sekolah. Berbagi suka dan duka adalah hal yang lumrah.

Meskipun baru dalam hitungan bulan, aku sangat gembira dengan kemajuan yang dialami putriku, Khansa. Tidak hanya pada prestasi belajarnya, tapi juga pada kedisiplinannya, terutama dalam menjaga waktu-waktu shalatnya. Berada di negeri rantau yang tidak segalanya mudah, turut membentuk kepribadian putriku.

Bersambung ke Bagian Ketiga : BACA DI SINI

(Bag. 01) Aku, Khansa dan Kuala Lumpur

Memori Kuala Lumpur :

Aku, Khansa dan Kuala Lumpur
Oleh : Andi Himyatul Hidayah

… Ya Allah, segala yang aku cintai yang telah
Engkau karuniakan kepadaku, jadikanlah itu
sebagai kekuatanku untuk melakukan hal-hal
yang Engkau sukai … “ (HR At-Tirmidzi)

(Bagian Pertama dari Tiga Tulisan)



Berita kematian sahabat baikku, Agnes Sri Wahyuni, tiba-tiba menggetarkan batinku sebagai seorang ibu. Berita kematian tentu bisa terdengar kapan saja. tapi bayangan kesedihan tiga bocah kecil yang ditinggalkannya meluapkan telaga air mata keibuanku. Kematian adalah sesuatu yang pasti. Sementara menurutku, kehidupan adalah serangkaian pelajaran yang dilalui untuk dimengerti. Kepergian sahabatku untuk selama-lamanya, tiga bocah kecil yang tentu akan selalu merindukan belaian lembut tangan sang ibu, dan kesempatanku untuk tetap bertahan dari kecelakaan yang nyaris merenggut jiwaku menuntunku untuk terus berusaha memahami arti hidup ini.

Aku adalah seorang ibu dan yang telah memilih mendarmabaktikan hidup dan cintaku untuk melindungi sebisa mungkin, mengasuh dan membesarkan anak-anakku. Mereka adalah insan cita yang telah Allah SWT titipkan sebagai karunia terindah dalam hidupku. Karenanya aku tidak ingin menyia-nyiakan setiap kesempatan yang kumiliki. Seperti juga pada ibu-ibu yang lain, dan aku kira itu wajar dan sangat naluriah bagi seorang ibu. Tapi kenyataan yang harus kita lalui tidak selalu memihak pada seluruh keinginan dan harapan. Akan selalu ada dinamika yang harus dialami untuk direnungkan. 

Bersambung Bagian Kedua : DI SINI