Tuesday 25 February 2014

Perempuan Migran

Perempuan Migran 



Banyak orang mengimpikan dan berharap bisa berkunjung bahkan tinggal di luar negeri. Kedengarannya menyenangkan dan agaknya juga menjadi salah satu daya pikat para pencari kerja. Melalui migrasi, mereka dapat membangun impian dan berharap dipandang sebagai orang sukses. Padahal perempuan migran kerapkali juga menghadapi anggapan atau pandangan buruk dari masyarakatnya. Sekalipun harus meninggalkan nilai-nilai keluarga dan masyarakat, segala upaya akan dilakukan untuk mencapai tujuan ini.

Dalam beberapa kesempatan bertemu dan berbincang dengan perempuan migran di negeri jiran dimana alasan mereka tidak semata karena uang. Ada juga dari mereka -- perempuan muda -- yang belum berkeluarga cenderung melihatnya sebagai kesempatan mencari pengalaman di negeri orang. Syukur-syukur bila mereka bisa dapat kerja yang bagus dan penghasilan lumayan.

“Iya lho mbak, tiga tahun yang lalu saya diajak tetangga di kampung. Setamat SMA karena tak ada biaya untuk kuliah, dulu pinginnya ke Arab, tapi urusannya ribet. Pengen lihat Arab itu seperti apa lho, Mbak. Tapi, Iya sudah ke Malaysia sini saja. Akhir tahun ini kontrak saya dengan majikan sudah habis, pinginnya pulang saja. Suruh pulang sama Bude, katanya mau dinikahin”, pengakuan seorang perempuan migran yang saya lupa menanyakan namanya di suatu kesempatan.

Berbeda dengan Ibu Surti (nama samaran), seorang ibu yang usianya kira-kira 45 tahun, yang sering saya temui di sebuah stasiun komuter. Satu pengakuan yang membuat saya tersentak. Ibu Surti adalah buruh migran yang mengaku sudah lima tahun di negeri jiran  dan kerja berpindah-pindah. Dua tahun terakhir bekerja sebagai penjaga anak (nanny) yang tidak jauh dari tempatku bermukim. 

Tergambar kesedihan di raut wajah perempuan itu tiba-tiba ketika saya berbincang tentang anak. “Anak saya dua orang. Yang pertama tahun ini lulus SMP, sedang anak kedua sekarang kelas V SD. Beruntung saya boleh pulang sekali setahun untuk menjenguk mereka. Itu kalau anak majikan saya libur sekolah”, cerita Ibu Surti lirih. Saya dapat memahami kegalauan hati perempuan itu. Seorang Ibu yang berjuang untuk putra-putrinya. Menjadi ‘nanny’ dengan mengurus anak-anak majikannya di negeri orang, dengan harus meninggalkan putra-putri kandungnya sendiri.  

Potret dua perempuan migran sebagaimana yang telah dikisahkan di atas tentu akan selalu menarik untuk diperbincangkan. Perempuan migran; mengapa harus perempuan itu, mengapa harus ibu itu ? Bukankah itu lebih baik untuk laki-laki saja, untuk suami-suami mereka saja ? Tapi ada hal yang bisa dilakukan oleh perempuan dan kurang pantas untuk laki-laki. Mereka memerlukan tangan perempuan, dan perempuan pun berhak untuk mendapatkannya, semisal kebebasan dan posisi tawar, katanya.

Perempuan migran, tapi, untuk urusan berangkat berhaji saja perempuan disyaratkan dengan muhrimnya, bukan ? Lalu, mengapa keluarga, masyarakat dan negara membiarkan perempuan-perempuan itu bermigrasi ke luar negeri meninggalkan rumah, keluarga dan kampung halamannya (dalam waktu yang lama) tanpa disertai oleh muhrimnya ? Apakah migrasi perempuan untuk menjadi buruh ke luar negeri berbeda kedudukannya dengan urusan berangkat haji ? Jangan dicampur aduk, katanya.

Tapi, mari kita sama-sama renungkan hadis Rasulullah SAW ! Sebagaimana Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Ibnu Abbas yang mendengar Nabi Sallallahu Alaihi Wasallam bersabda,  “Seorang laki-laki tidak boleh bersama seorang perempuan, kecuali adanya seorang muhrim bagi perempuan itu. Dan seorang perempuan jangan berpergian kecuali dengan muhrim.  Seorang sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, istri saya akan berangkat menunaikan haji sementara saya sudah terdaftar untuk pergi berperang.” Rasulullah SAW menjawab, “Pergilah dan tunaikan ibadah haji bersama istrimu !”

Tetapi bagaimana pun, perspektif perempuan (buruh) migran seringkali dilihat dari sisi yang berbeda. Maka, nilai-nilai luhur keluarga, masyarakat, dan bahkan agama akan dikesampingkan untuk atas nama kebutuhan, pendapatan, kebebasan, dan hak asasi. Entahlah @ Andi Himyatul Hidayah. 

Kuala Lumpur, 25 Pebruari 2014



****************

Wednesday 12 February 2014

keutamaan menyambung tali silaturrahim

Keutamaan Menyambung Tali Silaturrahim

Oleh : Andi Himyatul Hidayah


Kehidupan seringkali tidak seindah dengan apa yang kita inginkan. Khilaf dan salah paham  bisa saja terjadi dalam interaksi sosial dengan orang lain. Hal ini bisa berakibat jalinan persaudaraan atau pertemanan menjadi tidak harmonis atau terputus. Berawal dari khilaf dan salah paham inilah yang sering mengakibatkan hubungan dua orang yang pada awalnya saling menyayangi dan memperhatikan  menjadi renggang, bahkan menjadi menjauh.

Maka, disinilah perlunya memahami arti pentingnya menyambung tali silaturrahim. Silaturrahim bisa menjadi sarana untuk merajut hubungan yang terancam putus. Pribadi setiap orang memanglah  berbeda-beda. Tetapi atas dasar ikatan persaudaraan dan  kasih sayang sebagai sesama Muslim maka kekhilafan dan kesalahpahaman yang sering kali terjadi dapat dianulir.

Selanjutnya, perlu melihat perbedaan antara menjaga silaturrahmi dan menyambung silaturrahmi. Kebanyakan orang akan mengakrabi saudaranya setelah saudaranya mengakrabinya. Orang-orang akan mengunjungi saudaranya setelah saudaranya mengunjunginya. Si fulan akan memberi  hadiah setelah ia diberi hadiah, dan seterusnya. Kesemuanya itu hal lazim  sebagai bentuk membalas kebaikan saudaranya. Sedangkan kepada saudara yang tidak mengunjunginya, misalnya, dia tidak mau berkunjung. Hal ini bukanlah makna  silaturrahim yang sebenarnya, melainkan hanya mengimbangi atau membalas kebaikan kerabat dengan kebaikan serupa.

Dengan demikian secara sederhana dapat dikatakan bahwa orang yang membalas kebaikan tersebut hanya menjaga silaturrahim, bukan menyambung silaturrahim. Yang disebut menyambung tali silaturrahim adalah orang yang menyambung kembali terhadap orang yang telah memutuskan hubungan kekerabatannya.

Arti silaturrahim yang sesungguhnya telah dijelaskan secara eksplisit dalam hadis Rasulullah SAW,  “Penyambung silaturrahim bukanlah orang yang membalas kebaikan orang lain padanya. Namun penyambung silaturrahim yang sebenarnya adalah orang yang jika hubungan kekerabatannya diputus maka ia akan menyambungnya”. (HR Bukhari).

Dalam sebuah riwayat diceritakan, seorang lelaki datang kepada Rasulullah SAW dan berkata, “Wahai Rasulullah, aku mempunyai kerabat. Aku menyambung hubungan dengan mereka, akan tetapi mereka memutusnya dariku. Aku berbuat baik kepada mereka, akan tetapi mereka berbuat buruk kepadaku. Aku berlemah lembut kepada mereka, akan tetapi mereka kasar kepadaku.” Maka Nabi SAW bersabda, “Apabila engkau benar demikian, maka seakan engkau menyuapi mereka pasir panas. Allah akan senantiasa memberimu penolong selama engkau berbuat seperti itu.” (HR Muslim).

Dari hadis di atas dapat disimpulkan bahwa orang yang disebut menyambung tali silaturrahim pada pengertian yang sebenarnya adalah menyambung kembali hubungan dengan kerabat yang memutuskannya. Caranya dengan memberi segala bentuk kebaikan kepada orang yang tidak memberi kepada kita, walaupun orang yang kita sambung silaturrahim tersebut menyakiti atau tidak menerima kita..

Ada beberapa keutamaan bagi mereka yang senantiasa menyambung tali silaturrahim dengan ikhlas karena Allah dengan senang hati, diantaranya adalah :

Pertama, Sebagaimana konsekuensi iman, Abu Hurairah RA berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia menyambung hubungan silaturrahim”. (HR Bukhari)

Kedua, Mendapatkan keberkahan umur dan rezeki. Rasulullah SAW bersabda, “Siapa yang ingin dilapangkan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, maka sambunglah silaturrahim”. (HR Bukhari)

Ketiga, hadis yang diriwayatkan oleh al Jama’ah dari Abu Ayyub al Anshari, bahwa ia berkata, “Wahai Rasulullah, beritahulah aku satu amalan yang dapat memasukkan ke dalam surga”. Rasulullah SAW bersabda : “Menyembah Allah dan tidak menyekutukan-Nya, mengerjakan shalat, menunaikan  zakat, dan bersilaturrahim“. Hadis ini mengandung makna bahwa silaturrahim memiliki  peran esensial untuk bisa mengantarkan kita masuk surga dan menghindarkan dari siksa api neraka.

Keempat, Silaturrahim merupakan amalan yang utama dan dicintai Allah SWT. Hal tersebut didasarkan pada sebuah riwayat  bahwa ada seorang laki-laki datang bertanya kepada Rasulullah SAW, “Ya Rasulullah, amalan apa yang paling dicintai Allah ?” Beliau menjawab, ”Beriman kepada Allah.” Dia bertanya lagi, ”Kemudian apalagi?” Beliau menjawab, ”Kemudian menyambung silaturrahim”.

Ada beberapa ancaman yang diberikan kepada orang yang memutuskan tali silaturrahim. Diantaranya hadis Rasulullah SAW, “Tidaklah masuk surga orang yang memutus tali silaturrahim”. (HR Bukhari), dan “Tidak ada dosa yang lebih cepat siksaannya di dunia bagi pelakunya, serta diperlambat siksaannya di akhirat kelak dari pada orang yang zalim dan memutus hubungan silaturrahim.”

Mengingat pentingnya menyambung silaturrahim, setiap Muslim harus menghindari hal–hal yang menyebabkan silaturrahim terputus. Karena itu, memutuskan silaturrahim dengan keluarga atau kerabat merupakan perilaku setan. Rasulullah SAW memperingatkan, “Janganlah orang Islam memutuskan hubungan dengan saudaranya selama lebih dari tiga hari.” (HR Abu Dawud)

Demikian tulisan singkat ini untuk saling mengingatkan pada jalan kebaikan, terutama bagi diri pribadi penulis. Semoga Allah SWT memberikan kekuatan kepada kita semua untuk dapat menghindarkan diri dari terputusnya tali silaturrahim dengan saudara dan kerabat kita, guru, teman dan kaum Muslim. Semoga Allah SWT memberikan kita tempat yang mulia di Surga Allah SWT kelak. Amin ya Rabbal’Alamin. Wallahu A’lam bishshwab. @ Andi Himyatul Hidayah

***********************

Saturday 8 February 2014

Janda Baik di Malaysia dan Perempuan dalam Legenda

Janda Baik di Malaysia dan Perempuan dalam Legenda

Oleh Andi Himyatul Hidayah


Kesempatan kami mengunjungi Negeri Jiran menyisakan beragam kenangan. Kali ini perjalanan ke sebuah daerah perkampungan asri dan alami yang cocok sebagai tempat wisata keluarga di akhir pekan. Nama kampung inilah yang terkesan unik, Kampung Janda Baik (barmakna ‘the good widow’ dalam bahasa Inggeris).

Dalam catatan pribadi saya, pertama kali mengunjungi tempat ini setelah kurang lebih tiga bulan berada di Malaysia, tepatnya 12 Januari 2013. Sebuah wisata alam bagi keluarga di akhir pekan. Saya sangat menikmatinya sebagai perjalanan istimewa setelah kondisi saya belum sepenuhnya pulih dari traffic accident (kecelakaan lalu lintas). Saya pun masih harus duduk di kursi roda ketika itu.

Kampung janda baik terletak di Wilayah Pahang yang letaknya kurang lebih 40 km dari Wilayah Persekutuan Kuala Lumpur. Dapat ditempuh 45 menit  hingga 1 jam dengan kendaraan pribadi melalui daerah Gombak. Kampung Janda Baik merupakan  pedesaan yang semula dihuni oleh penduduk asli Melayu.

Bersumber dari infomasi Wikitravel dimana secara geografis Kampung Janda Baik terletak di atas ketinggian 1.500 – 4.500 meter di atas permukaan laut yang bertemperatur udara 23 – 28 derajat celcius pada siang hari dan di bawah 22 derajat celcius di malam hari. Berada di tengah lembah kecil yang dikelilingi  oleh hutan hujan (rainforest) yang lebat dan terdapat aliran sungai dan kawasan air terjun (waterfalls) yang masih sangat natural. Lingkungan ekologi yang natural, asri dan jauh dari polusi menjadikan tempat ini sangat layak sebagai tempat rekreasi bagi penduduk kota terutama di akhir pekan.

Akomodasi yang berupa rumah-rumah sewa banyak terdapat di daerah ini. Penduduk setempat atas dukungan pemerintah menjadikan Kampung Janda Baik  sebagai salah satu tujuan wisata alam. Terdapat pula 'kamp-kamp' pelatihan semacam gedung diklat dan pertemuan. Kami sendiri ketika itu beristirahat di rumah yang kebetulan pemiliknya seorang penulis buku dan jurnalis kondang di Malaysia yang menyebut tempatnya itu sebagai University of Life.

Hal yang menarik perhatian saya, mengapa kampung tersebut dinamai Janda Baik ?. Saya pun berselancar menyusuri informasi latar belakang penamaan kampung ini. Masih dari sumber Wikitravel yang diakses 15 Januari 2014, bahwa pada zaman dahulu kampung ini adalah desa sederhana yang merupakan jalan lintas yang menghubungkan antara Selangor dan Pahang. 

Di sana diceritakan bahwa ketika terjadi perang saudara di Selangor, desa  ini seringkali menjadi tempat persinggahan para tentara gerilya yang pulang dari peperangan. Tidak jarang mereka beristirahat di desa itu sambil merawat luka-lukanya sepulang dari peperangan. Melihat gerombolan yang terluka, seorang perempuan janda yang penduduk asli desa  itu menawarkan jasa baiknya untuk membantu merawat luka-lukanya. Janda yang murah hati -- janda yang baik – sebagaimana kesan para gerilyawan itu. Sebagai tanda penghormatan dan bentuk balas jasa mereka, pimpinan tentara gerilyawan menyarankan anak buahnya menyebut desa itu dengan julukan perempuan yang menolongnya, -- Janda Baik --.

Ada lagi cerita dengan versi yang berbeda sebagaimana ditulis oleh Kamaruzaman Moidunny, PhD dalam Asal Usul Janda Baik. Awalnya kawasan Janda Baik yang kita kenal sekarang ini adalah kawasan hutan belantara sebelum orang-orang Melayu dari Kampung Ketari dan Kampung Benus, Bentong  berpindah ke kawasan ini. Penduduk asli (suku kaum asli Temuan) di kampung ini dipimpim oleh Ketua kaum orang asli yang bergelar Tok Batin. Konon, Tok Batin ini bernama Emok yang dikenal seorang yang kaya, dan istrinya bernama Endut.

Ada sebuah kampung yang dapat dikunjungi dengan menggunakan jalan hutan dari kawasan Janda Baik yang dikenal dengan Hulu Kenaboi, Negeri Sembilan. Seorang dara manis yang mendiami kampung itu memikat hati Tok Batin. Ia pun menikahi gadis cantik itu dan Tok Batin berpindah ke kampung istri barunya di Hulu Kenaboi. Dengan begitu Tok Batin terpaksa berpisah dan  menceraikan istri pertamanya, Endut.

Diceritakan kalau pada akhirnya Tok Batin jatuh miskin karena terlalu mengikuti kehendak istrinya yang cantik itu. Istrinya pun lari ke Jelebu, Negeri Sembilan, meninggalkan Tok Batin yang sudah miskin ditambah usianya yang sudah semakin tua. Maka pulanglah Tok Batin ke desanya dan menemui jandanya (Endut) yang tetap setia menunggunya. Mereka akhirnya hidup berbahagia dan rukun kembali. Janda yang berbalik kepada mantan suaminya. Muncullah perkataan ‘Janda Balik’, yang bila diulang-ulang dengan cepat maka terdengar  seperti perkataan – Janda Baik --. Maka itulah mengapa kampung itu kemudian dikenal dengan nama ‘Kampung Janda Baik’.

Cerita di atas mengingatkan saya pada sejumlah cerita rakyat yang telah berakar kuat di tengah masyarakatnya. Entah itu berasal dari cerita sebenarnya atau mungkin hanya sekedar mitos, tapi perhatian saya pada posisi perempuan dalam legenda.  Silahkan bisa disimak pada cerita-cerita yang lain.

Di Jawa Barat misalnya ada cerita tentang asal usul Tangkuban Perahu. Dalam cerita ini kita mengenal nama Dayang Sumbi yang bersuamikan anjing sakti yang bernama Tumang. Mereka dikaruniai seorang putra bernama Sangkuriang. Di akhir cerita bagaimana Dayang Sumbi berusaha meredam gejolak asmara seorang pemuda tampan dan sakti yang ingin mempersuntingnya. Satu alasan karena pemuda itu kemudian diketahuinya sebagai putra kandungnya sendiri.

Pada contoh cerita yang lain, sebutlah misalnya cerita asal usul kota Banyuwangi. Dalam Cerita ini tersebut tokoh perempuan yang bernama Surati, seorang putri raja yang berasal dari Kerajaan Klungkung. Surati yang cantik jelita dipersunting oleh Raden Banterang. Pertemuan mereka terjadi secara kebetulan ketika Raden Banterang berburu ke hutan. Sementara ketika itu Surati menyelamatkan diri ke hutan setelah ayahandanya terbunuh dalam mempertahankan mahkota kerajaan. Di akhir cerita tokoh Surati berakhir secara tragis dengan melompat ke sungai bersamaan ketika Raden Banterang menghunus keris untuk membunuhnya. Raden Banterang terhasut oleh fitnah terhadap permaisurinya itu yang terbukti tidak benar. Air sungai menjadi bening dan harum, sebagaimana titah Surati yang membuktikan dirinya tidak bersalah. Banyuwangi artinya air yang harum.

Demikian perempuan dalam legenda – posisi yang seringkali tidak menguntungkan -- semoga itu hanya ada dalam mitos. @ Andi Himyatul Hidayah

************************