Perempuan Migran
Banyak orang mengimpikan dan berharap bisa berkunjung bahkan tinggal di luar negeri. Kedengarannya
menyenangkan dan agaknya juga menjadi salah satu daya pikat para pencari kerja.
Melalui migrasi, mereka dapat membangun impian dan berharap dipandang sebagai
orang sukses. Padahal perempuan migran kerapkali juga menghadapi anggapan atau
pandangan buruk dari masyarakatnya. Sekalipun harus meninggalkan nilai-nilai
keluarga dan masyarakat, segala upaya akan dilakukan untuk mencapai tujuan ini.
Dalam beberapa kesempatan bertemu dan berbincang dengan perempuan migran di negeri
jiran dimana alasan mereka tidak semata karena uang. Ada juga dari mereka --
perempuan muda -- yang belum berkeluarga cenderung melihatnya sebagai
kesempatan mencari pengalaman di negeri orang. Syukur-syukur bila mereka bisa
dapat kerja yang bagus dan penghasilan lumayan.
“Iya lho mbak, tiga tahun yang lalu saya diajak tetangga di kampung. Setamat SMA
karena tak ada biaya untuk kuliah, dulu pinginnya ke Arab, tapi urusannya ribet.
Pengen lihat Arab itu seperti apa lho, Mbak. Tapi, Iya sudah ke Malaysia sini
saja. Akhir tahun ini kontrak saya dengan majikan sudah habis, pinginnya pulang
saja. Suruh pulang sama Bude, katanya mau dinikahin”, pengakuan seorang
perempuan migran yang saya lupa menanyakan namanya di suatu kesempatan.
Berbeda dengan Ibu Surti (nama samaran), seorang ibu yang usianya kira-kira 45 tahun,
yang sering saya temui di sebuah stasiun komuter. Satu pengakuan yang membuat
saya tersentak. Ibu Surti adalah buruh migran yang mengaku sudah lima tahun di
negeri jiran dan kerja berpindah-pindah.
Dua tahun terakhir bekerja sebagai penjaga anak (nanny) yang tidak jauh dari tempatku bermukim.
Tergambar kesedihan di raut wajah perempuan itu tiba-tiba ketika saya berbincang tentang
anak. “Anak saya dua orang. Yang pertama tahun ini lulus SMP, sedang anak kedua
sekarang kelas V SD. Beruntung saya boleh pulang sekali setahun untuk menjenguk
mereka. Itu kalau anak majikan saya libur sekolah”, cerita Ibu Surti lirih. Saya
dapat memahami kegalauan hati perempuan itu. Seorang Ibu yang berjuang untuk
putra-putrinya. Menjadi ‘nanny’ dengan mengurus anak-anak majikannya di negeri
orang, dengan harus meninggalkan putra-putri kandungnya sendiri.
Potret dua perempuan migran sebagaimana yang telah dikisahkan di atas tentu akan
selalu menarik untuk diperbincangkan. Perempuan migran; mengapa harus perempuan
itu, mengapa harus ibu itu ? Bukankah itu lebih baik untuk laki-laki saja,
untuk suami-suami mereka saja ? Tapi ada hal yang bisa dilakukan oleh perempuan
dan kurang pantas untuk laki-laki. Mereka memerlukan tangan perempuan, dan
perempuan pun berhak untuk mendapatkannya, semisal kebebasan dan posisi tawar, katanya.
Perempuan migran, tapi, untuk urusan berangkat berhaji saja perempuan disyaratkan dengan
muhrimnya, bukan ? Lalu, mengapa keluarga, masyarakat dan negara membiarkan perempuan-perempuan
itu bermigrasi ke luar negeri meninggalkan rumah, keluarga dan kampung
halamannya (dalam waktu yang lama) tanpa disertai oleh muhrimnya ? Apakah
migrasi perempuan untuk menjadi buruh ke luar negeri berbeda kedudukannya
dengan urusan berangkat haji ? Jangan dicampur aduk, katanya.
Tapi, mari kita sama-sama renungkan hadis Rasulullah SAW ! Sebagaimana Bukhari dan
Muslim meriwayatkan dari Ibnu Abbas yang mendengar Nabi Sallallahu Alaihi
Wasallam bersabda, “Seorang laki-laki tidak boleh bersama seorang perempuan,
kecuali adanya seorang muhrim bagi perempuan itu. Dan seorang perempuan jangan
berpergian kecuali dengan muhrim.” Seorang sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah,
istri saya akan berangkat menunaikan haji sementara saya sudah terdaftar untuk
pergi berperang.” Rasulullah SAW menjawab, “Pergilah dan tunaikan ibadah haji
bersama istrimu !”
Tetapi bagaimana pun, perspektif perempuan (buruh) migran seringkali dilihat dari sisi
yang berbeda. Maka, nilai-nilai luhur keluarga, masyarakat, dan bahkan agama akan
dikesampingkan untuk atas nama kebutuhan, pendapatan, kebebasan, dan hak asasi.
Entahlah @ Andi Himyatul Hidayah.
Kuala
Lumpur, 25 Pebruari 2014
****************
No comments:
Post a Comment
Note: only a member of this blog may post a comment.