Serpihan Rinduku
Oleh
: Andi Himyatul Hidayah
“Watch
children from an early age, notice where their focus is,
and
help them explore and map out goals in their small worlds” Jane Garton
Setelah
menikah dan mulai membangun keluarga, bagiku anak-anak adalah insan cita yang
telah Allah SWT titipkan sebagai karunia terindah dalam hidupku. Saya adalah
seorang ibu dan yang telah memilih mendarmabaktikan hidup dan cintaku untuk
melindungi sebisa mungkin, mengasuh dan membesarkan anak-anakku. Komitmen yang
telah menjadi harapan dan impianku.
Ada
saat dimana kita dan anak-anak masih bisa bersama dan bersendagurau dalam satu
rumah. Tapi seiring berjalannya waktu, dimana akan ada masa dimana orang tua
harus ikhlas melepas buah hatinya karena alasan menuntut ilmu di tempat lain
misalnya. Anak-anak akan pergi meninggalkan rumah satu per satu menjadi hal
yang tidak mungkin kuhindari. Pada waktunya anak-anak akan pergi untuk
menjemput masa depannya sendiri.
Apakah
karena itu Kahlil Gibran berkata, “Anakmu bukanlah milikmu, mereka adalah putra
putri sang Hidup, yang rindu akan dirinya sendiri …….. Patut kau berikan rumah
bagi raganya, namun tidak bagi jiwanya, sebab jiwa mereka adalah penghuni rumah
masa depan, yang tiada dapat kau kunjungi, sekalipun dalam mimpimu.” Itu
menurut Kahli Gibran, tapi bagiku anak-anakku adalah separuh jiwaku.
Kegalauan dan
kesedihan itu akhirnya datang juga. Walaupun putra-putri tertuaku (Raihan dan
Ghariza) masih cukup belia, baru lulus Sekolah Dasar, saya rela melepas
keduanya yang harus ‘mondok’ di
pesantren hafidz Al-Qur’an di Tuju-Tuju Bone Sulawesi Selatan. Saya tentu dapat
menghubungi dan mengunjungi mereka kapan saja, Namun, keutuhan dan kebersamaan
anggota keluarga dalam satu rumah menjadi harapan terindah terutama buat sang
ibu.
Pada mulanya saya berat
berpisah dengan putra-putri sulungku. Tapi sudah menjadi keputusan mereka untuk mondok di pesantren. Ini adalah awal perpisahanku
dengan putra-putri sulungku. Kebersamaan
yang terasa begitu singkat. Sedih bercampur bahagia. Air mataku bercucuran tak bisa kubendung.
Mengalir bagaikan air hujan yang turun membasahi bumi. Demikian juga putra-putri
sulungku, dia memelukku, mencium tanganku tak henti-hentinya serasa susah untuk
berkata, ”Mama, doakan Raihan dan Ghariza
semoga menjadi anak shaleh-shalehah dan seorang hafidz hafidzah yang tawadhu.
Amin Ya Rabbal Alamin”.
Hari-hari
berlalu, saya merasakan kerinduan sangat dalam pada putra-putri sulungku. Mereka
begitu dekat denganku, Saya adalah tempat curhatnya. Mengobati kerinduanku sesekali
saya mengunjunginya. Terpancar kegembiraan di wajah putra-putri sulungku ketika saya bersama adik-adiknya datang
menjenguknya pertama kali. Saya dengan tenang mendengar celotehnya ketika bercerita banyak mengenai pengalamannya selama
mondok di pesantren.
Tanpa
canda tawa dari putra-putri tertuaku menyelipkan kesunyian di hatiku. Kesedihan
yang kerap meluapkan air mata keibuanku. Saya berusaha bangkit untuk menghadapi
gelora kerinduan di hatiku.
Di tengah long distance love dengan putra-putri sulungku, ketika harus menerima kabar
bahwa putra sulungku sedang sakit. Saya sangat sedih tak berada disampingnya.
Saat-saat itu belaian sang ibu sangat dirindukan walaupun tidak dikatakan
ketika saya berbicara di telepon. Hanya
doa yang tiada henti-hentinya selalu kupanjatkan semoga putra-putri sulungku
dilimpahkan kesehatan selama mondok di pesantren. Amin Ya Rabbal Alamin.
Seiring dengan berjalannya
waktu, serpihan-serpihan rinduku melebur dalam
doaku di setiap kesempatan, semoga long distance love ini cepat berlalu. Bersua dalam cinta. @ Andi
Himyatul Hidayah.
Kuala Lumpur, 19 Maret 2014
No comments:
Post a Comment
Note: only a member of this blog may post a comment.