Wednesday 19 March 2014

Serpihan Rinduku

Serpihan Rinduku

Oleh : Andi Himyatul Hidayah

“Watch children from an early age, notice where their focus is,
and help them explore and map out goals in their small worlds” Jane Garton



Setelah menikah dan mulai membangun keluarga, bagiku anak-anak adalah insan cita yang telah Allah SWT titipkan sebagai karunia terindah dalam hidupku. Saya adalah seorang ibu dan yang telah memilih mendarmabaktikan hidup dan cintaku untuk melindungi sebisa mungkin, mengasuh dan membesarkan anak-anakku. Komitmen yang telah menjadi harapan dan impianku.

Ada saat dimana kita dan anak-anak masih bisa bersama dan bersendagurau dalam satu rumah. Tapi seiring berjalannya waktu, dimana akan ada masa dimana orang tua harus ikhlas melepas buah hatinya karena alasan menuntut ilmu di tempat lain misalnya. Anak-anak akan pergi meninggalkan rumah satu per satu menjadi hal yang tidak mungkin kuhindari. Pada waktunya anak-anak akan pergi untuk menjemput masa depannya sendiri.

Apakah karena itu Kahlil Gibran berkata, “Anakmu bukanlah milikmu, mereka adalah putra putri sang Hidup, yang rindu akan dirinya sendiri …….. Patut kau berikan rumah bagi raganya, namun tidak bagi jiwanya, sebab jiwa mereka adalah penghuni rumah masa depan, yang tiada dapat kau kunjungi, sekalipun dalam mimpimu.” Itu menurut Kahli Gibran, tapi bagiku anak-anakku adalah separuh jiwaku.

Kegalauan dan kesedihan itu akhirnya datang juga. Walaupun putra-putri tertuaku (Raihan dan Ghariza) masih cukup belia, baru lulus Sekolah Dasar, saya rela melepas keduanya  yang harus ‘mondok’ di pesantren hafidz Al-Qur’an di Tuju-Tuju Bone Sulawesi Selatan. Saya tentu dapat menghubungi dan mengunjungi mereka kapan saja, Namun, keutuhan dan kebersamaan anggota keluarga dalam satu rumah menjadi harapan terindah terutama buat sang ibu.

Pada mulanya saya berat berpisah dengan putra-putri sulungku. Tapi sudah menjadi keputusan mereka  untuk mondok di pesantren. Ini adalah awal perpisahanku dengan putra-putri sulungku. Kebersamaan yang terasa begitu singkat. Sedih bercampur bahagia.  Air mataku bercucuran tak bisa kubendung. Mengalir bagaikan air hujan yang turun membasahi bumi. Demikian juga putra-putri sulungku, dia memelukku, mencium tanganku tak henti-hentinya serasa susah untuk berkata, ”Mama, doakan Raihan dan Ghariza semoga menjadi anak shaleh-shalehah dan seorang hafidz hafidzah yang tawadhu. Amin Ya Rabbal Alamin”.

Hari-hari berlalu, saya merasakan kerinduan sangat dalam pada putra-putri sulungku. Mereka begitu dekat denganku, Saya adalah tempat curhatnya. Mengobati kerinduanku sesekali saya mengunjunginya. Terpancar kegembiraan di wajah putra-putri sulungku  ketika saya bersama adik-adiknya datang menjenguknya pertama kali. Saya dengan tenang mendengar celotehnya ketika  bercerita banyak mengenai pengalamannya selama mondok di pesantren.

Tanpa canda tawa dari putra-putri tertuaku menyelipkan kesunyian di hatiku. Kesedihan yang kerap meluapkan air mata keibuanku. Saya berusaha bangkit untuk menghadapi gelora kerinduan di hatiku.

Di tengah long distance love dengan  putra-putri sulungku, ketika harus menerima kabar bahwa putra sulungku sedang sakit. Saya sangat sedih tak berada disampingnya. Saat-saat itu belaian sang ibu sangat dirindukan walaupun tidak dikatakan ketika saya berbicara di telepon.  Hanya doa yang tiada henti-hentinya selalu kupanjatkan semoga putra-putri sulungku dilimpahkan kesehatan selama mondok di pesantren. Amin Ya Rabbal Alamin.

Seiring dengan berjalannya waktu,  serpihan-serpihan rinduku melebur dalam doaku di setiap kesempatan, semoga long distance love ini cepat berlalu. Bersua dalam cinta. @ Andi Himyatul Hidayah.

Kuala Lumpur, 19 Maret 2014

No comments:

Post a Comment

Note: only a member of this blog may post a comment.