Saturday 8 February 2014

Janda Baik di Malaysia dan Perempuan dalam Legenda

Janda Baik di Malaysia dan Perempuan dalam Legenda

Oleh Andi Himyatul Hidayah


Kesempatan kami mengunjungi Negeri Jiran menyisakan beragam kenangan. Kali ini perjalanan ke sebuah daerah perkampungan asri dan alami yang cocok sebagai tempat wisata keluarga di akhir pekan. Nama kampung inilah yang terkesan unik, Kampung Janda Baik (barmakna ‘the good widow’ dalam bahasa Inggeris).

Dalam catatan pribadi saya, pertama kali mengunjungi tempat ini setelah kurang lebih tiga bulan berada di Malaysia, tepatnya 12 Januari 2013. Sebuah wisata alam bagi keluarga di akhir pekan. Saya sangat menikmatinya sebagai perjalanan istimewa setelah kondisi saya belum sepenuhnya pulih dari traffic accident (kecelakaan lalu lintas). Saya pun masih harus duduk di kursi roda ketika itu.

Kampung janda baik terletak di Wilayah Pahang yang letaknya kurang lebih 40 km dari Wilayah Persekutuan Kuala Lumpur. Dapat ditempuh 45 menit  hingga 1 jam dengan kendaraan pribadi melalui daerah Gombak. Kampung Janda Baik merupakan  pedesaan yang semula dihuni oleh penduduk asli Melayu.

Bersumber dari infomasi Wikitravel dimana secara geografis Kampung Janda Baik terletak di atas ketinggian 1.500 – 4.500 meter di atas permukaan laut yang bertemperatur udara 23 – 28 derajat celcius pada siang hari dan di bawah 22 derajat celcius di malam hari. Berada di tengah lembah kecil yang dikelilingi  oleh hutan hujan (rainforest) yang lebat dan terdapat aliran sungai dan kawasan air terjun (waterfalls) yang masih sangat natural. Lingkungan ekologi yang natural, asri dan jauh dari polusi menjadikan tempat ini sangat layak sebagai tempat rekreasi bagi penduduk kota terutama di akhir pekan.

Akomodasi yang berupa rumah-rumah sewa banyak terdapat di daerah ini. Penduduk setempat atas dukungan pemerintah menjadikan Kampung Janda Baik  sebagai salah satu tujuan wisata alam. Terdapat pula 'kamp-kamp' pelatihan semacam gedung diklat dan pertemuan. Kami sendiri ketika itu beristirahat di rumah yang kebetulan pemiliknya seorang penulis buku dan jurnalis kondang di Malaysia yang menyebut tempatnya itu sebagai University of Life.

Hal yang menarik perhatian saya, mengapa kampung tersebut dinamai Janda Baik ?. Saya pun berselancar menyusuri informasi latar belakang penamaan kampung ini. Masih dari sumber Wikitravel yang diakses 15 Januari 2014, bahwa pada zaman dahulu kampung ini adalah desa sederhana yang merupakan jalan lintas yang menghubungkan antara Selangor dan Pahang. 

Di sana diceritakan bahwa ketika terjadi perang saudara di Selangor, desa  ini seringkali menjadi tempat persinggahan para tentara gerilya yang pulang dari peperangan. Tidak jarang mereka beristirahat di desa itu sambil merawat luka-lukanya sepulang dari peperangan. Melihat gerombolan yang terluka, seorang perempuan janda yang penduduk asli desa  itu menawarkan jasa baiknya untuk membantu merawat luka-lukanya. Janda yang murah hati -- janda yang baik – sebagaimana kesan para gerilyawan itu. Sebagai tanda penghormatan dan bentuk balas jasa mereka, pimpinan tentara gerilyawan menyarankan anak buahnya menyebut desa itu dengan julukan perempuan yang menolongnya, -- Janda Baik --.

Ada lagi cerita dengan versi yang berbeda sebagaimana ditulis oleh Kamaruzaman Moidunny, PhD dalam Asal Usul Janda Baik. Awalnya kawasan Janda Baik yang kita kenal sekarang ini adalah kawasan hutan belantara sebelum orang-orang Melayu dari Kampung Ketari dan Kampung Benus, Bentong  berpindah ke kawasan ini. Penduduk asli (suku kaum asli Temuan) di kampung ini dipimpim oleh Ketua kaum orang asli yang bergelar Tok Batin. Konon, Tok Batin ini bernama Emok yang dikenal seorang yang kaya, dan istrinya bernama Endut.

Ada sebuah kampung yang dapat dikunjungi dengan menggunakan jalan hutan dari kawasan Janda Baik yang dikenal dengan Hulu Kenaboi, Negeri Sembilan. Seorang dara manis yang mendiami kampung itu memikat hati Tok Batin. Ia pun menikahi gadis cantik itu dan Tok Batin berpindah ke kampung istri barunya di Hulu Kenaboi. Dengan begitu Tok Batin terpaksa berpisah dan  menceraikan istri pertamanya, Endut.

Diceritakan kalau pada akhirnya Tok Batin jatuh miskin karena terlalu mengikuti kehendak istrinya yang cantik itu. Istrinya pun lari ke Jelebu, Negeri Sembilan, meninggalkan Tok Batin yang sudah miskin ditambah usianya yang sudah semakin tua. Maka pulanglah Tok Batin ke desanya dan menemui jandanya (Endut) yang tetap setia menunggunya. Mereka akhirnya hidup berbahagia dan rukun kembali. Janda yang berbalik kepada mantan suaminya. Muncullah perkataan ‘Janda Balik’, yang bila diulang-ulang dengan cepat maka terdengar  seperti perkataan – Janda Baik --. Maka itulah mengapa kampung itu kemudian dikenal dengan nama ‘Kampung Janda Baik’.

Cerita di atas mengingatkan saya pada sejumlah cerita rakyat yang telah berakar kuat di tengah masyarakatnya. Entah itu berasal dari cerita sebenarnya atau mungkin hanya sekedar mitos, tapi perhatian saya pada posisi perempuan dalam legenda.  Silahkan bisa disimak pada cerita-cerita yang lain.

Di Jawa Barat misalnya ada cerita tentang asal usul Tangkuban Perahu. Dalam cerita ini kita mengenal nama Dayang Sumbi yang bersuamikan anjing sakti yang bernama Tumang. Mereka dikaruniai seorang putra bernama Sangkuriang. Di akhir cerita bagaimana Dayang Sumbi berusaha meredam gejolak asmara seorang pemuda tampan dan sakti yang ingin mempersuntingnya. Satu alasan karena pemuda itu kemudian diketahuinya sebagai putra kandungnya sendiri.

Pada contoh cerita yang lain, sebutlah misalnya cerita asal usul kota Banyuwangi. Dalam Cerita ini tersebut tokoh perempuan yang bernama Surati, seorang putri raja yang berasal dari Kerajaan Klungkung. Surati yang cantik jelita dipersunting oleh Raden Banterang. Pertemuan mereka terjadi secara kebetulan ketika Raden Banterang berburu ke hutan. Sementara ketika itu Surati menyelamatkan diri ke hutan setelah ayahandanya terbunuh dalam mempertahankan mahkota kerajaan. Di akhir cerita tokoh Surati berakhir secara tragis dengan melompat ke sungai bersamaan ketika Raden Banterang menghunus keris untuk membunuhnya. Raden Banterang terhasut oleh fitnah terhadap permaisurinya itu yang terbukti tidak benar. Air sungai menjadi bening dan harum, sebagaimana titah Surati yang membuktikan dirinya tidak bersalah. Banyuwangi artinya air yang harum.

Demikian perempuan dalam legenda – posisi yang seringkali tidak menguntungkan -- semoga itu hanya ada dalam mitos. @ Andi Himyatul Hidayah

************************

No comments:

Post a Comment

Note: only a member of this blog may post a comment.