Janda Baik di Malaysia dan Perempuan dalam Legenda
Oleh Andi
Himyatul Hidayah
Kesempatan kami mengunjungi Negeri Jiran menyisakan beragam kenangan. Kali ini perjalanan ke sebuah daerah perkampungan asri dan alami yang cocok sebagai tempat wisata keluarga di akhir pekan. Nama kampung inilah yang terkesan unik, Kampung Janda Baik (barmakna ‘the good widow’ dalam bahasa Inggeris).
Dalam catatan pribadi saya, pertama kali mengunjungi
tempat ini setelah kurang lebih tiga bulan berada di Malaysia, tepatnya 12
Januari 2013. Sebuah wisata alam bagi keluarga di akhir pekan. Saya sangat
menikmatinya sebagai perjalanan istimewa setelah kondisi saya belum sepenuhnya
pulih dari traffic accident (kecelakaan lalu lintas). Saya pun masih harus
duduk di kursi roda ketika itu.
Kampung janda baik terletak di Wilayah Pahang yang
letaknya kurang lebih 40 km dari Wilayah Persekutuan Kuala Lumpur. Dapat
ditempuh 45 menit hingga 1 jam dengan
kendaraan pribadi melalui daerah Gombak. Kampung Janda Baik merupakan pedesaan yang semula dihuni oleh penduduk
asli Melayu.
Bersumber dari infomasi Wikitravel dimana secara
geografis Kampung Janda Baik terletak di atas ketinggian 1.500 – 4.500 meter di
atas permukaan laut yang bertemperatur udara 23 – 28 derajat celcius pada siang
hari dan di bawah 22 derajat celcius di malam hari. Berada di tengah lembah
kecil yang dikelilingi oleh hutan hujan
(rainforest) yang lebat dan terdapat aliran sungai dan kawasan air terjun (waterfalls) yang masih sangat natural. Lingkungan ekologi yang natural, asri dan jauh dari polusi menjadikan
tempat ini sangat layak sebagai tempat rekreasi bagi penduduk kota terutama di
akhir pekan.
Akomodasi yang berupa rumah-rumah sewa banyak
terdapat di daerah ini. Penduduk setempat atas dukungan pemerintah menjadikan
Kampung Janda Baik sebagai salah satu
tujuan wisata alam. Terdapat pula 'kamp-kamp' pelatihan semacam gedung diklat dan
pertemuan. Kami sendiri ketika itu beristirahat di rumah yang kebetulan
pemiliknya seorang penulis buku dan jurnalis kondang di Malaysia yang menyebut
tempatnya itu sebagai University of Life.
Hal yang menarik perhatian saya, mengapa kampung
tersebut dinamai Janda Baik ?. Saya pun berselancar menyusuri informasi latar
belakang penamaan kampung ini. Masih dari sumber Wikitravel yang diakses 15
Januari 2014, bahwa pada zaman dahulu kampung ini adalah desa sederhana yang
merupakan jalan lintas yang menghubungkan antara Selangor dan Pahang.
Di sana diceritakan bahwa ketika terjadi perang
saudara di Selangor, desa ini seringkali
menjadi tempat persinggahan para tentara gerilya yang pulang dari peperangan.
Tidak jarang mereka beristirahat di desa itu sambil merawat luka-lukanya
sepulang dari peperangan. Melihat gerombolan yang terluka, seorang perempuan
janda yang penduduk asli desa itu menawarkan
jasa baiknya untuk membantu merawat luka-lukanya. Janda yang murah hati --
janda yang baik – sebagaimana kesan para gerilyawan itu. Sebagai tanda
penghormatan dan bentuk balas jasa mereka, pimpinan tentara gerilyawan
menyarankan anak buahnya menyebut desa itu dengan julukan perempuan yang
menolongnya, -- Janda Baik --.
Ada lagi cerita dengan versi yang berbeda
sebagaimana ditulis oleh Kamaruzaman Moidunny, PhD dalam Asal Usul Janda Baik. Awalnya
kawasan Janda Baik yang kita kenal sekarang ini adalah kawasan hutan belantara
sebelum orang-orang Melayu dari Kampung Ketari dan Kampung Benus, Bentong berpindah ke kawasan ini. Penduduk asli (suku
kaum asli Temuan) di kampung ini dipimpim oleh Ketua kaum orang asli yang
bergelar Tok Batin. Konon, Tok Batin ini bernama Emok yang dikenal seorang yang
kaya, dan istrinya bernama Endut.
Ada sebuah kampung yang dapat dikunjungi dengan
menggunakan jalan hutan dari kawasan Janda Baik yang dikenal dengan Hulu
Kenaboi, Negeri Sembilan. Seorang dara manis yang mendiami kampung itu memikat
hati Tok Batin. Ia pun menikahi gadis cantik itu dan Tok Batin berpindah ke
kampung istri barunya di Hulu Kenaboi. Dengan begitu Tok Batin terpaksa berpisah dan menceraikan
istri pertamanya, Endut.
Diceritakan kalau pada akhirnya Tok Batin jatuh
miskin karena terlalu mengikuti kehendak istrinya yang cantik itu. Istrinya pun
lari ke Jelebu, Negeri Sembilan, meninggalkan Tok Batin yang sudah miskin
ditambah usianya yang sudah semakin tua. Maka pulanglah Tok Batin ke desanya
dan menemui jandanya (Endut) yang tetap setia menunggunya. Mereka akhirnya hidup
berbahagia dan rukun kembali. Janda yang berbalik kepada mantan suaminya.
Muncullah perkataan ‘Janda Balik’, yang bila diulang-ulang dengan cepat maka
terdengar seperti perkataan – Janda Baik
--. Maka itulah mengapa kampung itu kemudian dikenal dengan nama ‘Kampung Janda
Baik’.
Cerita di atas mengingatkan saya pada sejumlah
cerita rakyat yang telah berakar kuat di tengah masyarakatnya. Entah itu berasal
dari cerita sebenarnya atau mungkin hanya sekedar mitos, tapi perhatian saya
pada posisi perempuan dalam legenda. Silahkan
bisa disimak pada cerita-cerita yang lain.
Di Jawa Barat misalnya ada cerita tentang asal usul Tangkuban Perahu. Dalam cerita ini kita mengenal nama Dayang Sumbi yang
bersuamikan anjing sakti yang bernama Tumang. Mereka dikaruniai seorang putra
bernama Sangkuriang. Di akhir cerita bagaimana Dayang Sumbi berusaha meredam
gejolak asmara seorang pemuda tampan dan sakti yang ingin mempersuntingnya.
Satu alasan karena pemuda itu kemudian diketahuinya sebagai putra kandungnya
sendiri.
Pada contoh cerita yang lain, sebutlah misalnya
cerita asal usul kota Banyuwangi. Dalam Cerita ini tersebut tokoh perempuan
yang bernama Surati, seorang putri raja yang berasal dari Kerajaan Klungkung. Surati
yang cantik jelita dipersunting oleh Raden Banterang. Pertemuan mereka terjadi
secara kebetulan ketika Raden Banterang berburu ke hutan. Sementara ketika itu
Surati menyelamatkan diri ke hutan setelah ayahandanya terbunuh dalam
mempertahankan mahkota kerajaan. Di akhir cerita tokoh Surati berakhir secara
tragis dengan melompat ke sungai bersamaan ketika Raden Banterang menghunus
keris untuk membunuhnya. Raden Banterang terhasut oleh fitnah terhadap
permaisurinya itu yang terbukti tidak benar. Air sungai menjadi bening dan harum,
sebagaimana titah Surati yang membuktikan dirinya tidak bersalah. Banyuwangi
artinya air yang harum.
Demikian perempuan dalam legenda – posisi yang
seringkali tidak menguntungkan -- semoga itu hanya ada dalam mitos. @ Andi
Himyatul Hidayah
************************
No comments:
Post a Comment
Note: only a member of this blog may post a comment.