Thursday 24 December 2015

Isu Halal pada Sediaan Farmasi




Bagian Keempat :

MENCERMATI PENGEMBANGAN SEDIAAN FARMASI
DALAM PERSPEKTIF SEJARAH DAN
TUNTUNAN SYARIAT ISLAM

Oleh :
Surya Amal
Himyatul Hidayah
(Prodi Farmasi FIK Universitas Darussalam Gontor)

---------------------------

C.   Isu Halal pada Sediaan Farmasi

Kemajuan  ilmu pengetahuan  dan  teknologi  di  bidang  pangan,  obat-obatan,  dan kosmetik  berkembang  sangat  pesat.  Hal  itu  berpengaruh  secara nyata  pada  pergeseran  pengolahan  dan  pemanfaatan  bahan  baku untuk  makanan,  minuman,  kosmetik,  obat-obatan,  serta  Produk lainnya  dari  yang  semula  bersifat  sederhana  dan  alamiah  menjadi pengolahan  dan  pemanfaatan  bahan  baku  hasil  rekayasa  ilmu pengetahuan.  Pengolahan  produk  dengan  memanfaatkan  kemajuan ilmu  pengetahuan  dan  teknologi  memungkinkan  percampuran antara  yang  halal  dan  yang  haram  baik  disengaja  maupun  tidak disengaja.  Oleh  karena  itu,  untuk  mengetahui  kehalalan  dan kesucian  suatu  Produk,  diperlukan  suatu  kajian  khusus  yang membutuhkan  pengetahuan  multidisiplin,  seperti  pengetahuan  di bidang  pangan,  kimia,  biokimia,  teknik  industri,  biologi,  farmasi, dan pemahaman tentang syariat. (Penjelasan UU RI Nomor 33 Tahun 2014)

Berdasarkan ketentuan dalam Al-Qur’an dan Hadist bahwa bahan  haram  diluar  babi  adalah  organ  manusia  (bahan  dari rambut,  plasenta,  essen  dari  embrio),  bangkai  hewan  (mati  tidak disembelih,  dipukul,  tercekik,  disembelih  tidak  secara  Islam), binatang  buas  (srigala,  harimau.  singa,  burung   buas,  dan lain-lain),  darah, khamar  (minumam  yang difermentasi mengandung alkohol). Pelarangan  memakan  darah  dan   bangkai  terdapat  pada Surat Al Baqarah ayat 173 dan Surat Al Maidah ayat 3. Sedangkan pelarangan minum khamar terdapat dalam Surat Al Maidah ayat 90-91,  pelarangan  memakan  dan  memakai  organ  manusia  terdapat pada  Surat  Bani  Israil  ayat  70.  Ketentuan  melarang  memakan binatang buas terdapat pada Hadist.

Masalah  halal  dan  haram  bukan  hanya  merupakan  isu  yang sensitif  di  Indonesia,  tetapi  juga  selalu  mengusik  keyakinan  umat Islam  di  seluruh  dunia.  Umat  Islam  di  seluruh  dunia  amat berkepentingan  atas  jaminan  halal  tidak  saja  terhadap  produk pangan, obat-obatan dan kosmetika, namun juga terhadap proses produksi  serta  rekayasa  genetik. Sebagai contoh, hal yang juga dapat menentukan kehalalan proses produksi obat terkait dengan penambahan bahan-bahan farmasetik, yakni bahan tambahan (bukan obat) yang diracik bersama obat membentuk produk farmasetik. Bahan-bahan tersebut bisa berupa substansi pembasah, bufer, pengemulsi, pewarna, perasa, pemanis, pengisi tablet, pelarut, bahan enkapsulasi, dan lain-lain. Bahan-bahan ini bisa saja berasal dari bahan mentah atau proses produksi yang membuatnya menjadi haram. Bahan kapsul yang terbuat dari gelatin sebagai contoh, tergolong sebagai bahan yang kritis status kehalalannya, sementara masih terdapat gelatin yang berasal dari babi. (Ranasasmita, R., Roswiem, A.P., 2015). Apalagi saat ini bahan-bahan yang digunakan untuk produksi obat dan kosmetika masih banyak yang harus didatangkan dari luar negeri. 

Sebagai tambahan bahwa gelatin merupakan salah satu bahan baku yang banyak digunakan dalam produk makanan, obat-obatan dan kosmetik. Penggunaannya pada obat-obatan yakni bahan untuk kapsul gelatin lunak dan keras, pil dan tablet bersalut gula, pengganti serum, vitamin enkapsulasi, substansi polimer untuk sistem penghataran obat (drug delivery system) terutama pada sediaan obat lepas lambat. Sedangkan terhadap produk kosmetik gelatin dapat digunakan untuk pembuatan krim, masker, dan lotion. Gelatin dapat diekstrak dari tulang, lemak, limbah daging, lemak dan minyak goreng dari hewan. Ada beberapa jenis gelatin, dan yang paling disukai adalah yang bersumber dari babi (porcine) dan sapi (bovine). (Sahilah, A.M. et al. 2012). Sebagai contoh yang lain yang bersumber dari babi adalah Heparin porcine. Heparin berbeda dengan gelatin, dimana gelatin hanya digunakan untuk tujuan bahan tambahan farmasetik (bukan obat). Heparin sebagai obat telah digunakan selama lebih dari 50 tahun untuk mengobati dan mencegah trombosis. Hal ini juga diperlukan untuk sirkulasi ekstrakorporeal selama hemodialisis atau operasi jantung.  Heparin yang memiliki aktivitas antikoagulan ini masih diperoleh secara eksklusif dari jaringan hewan, terutama dari usus babi (porcine). Meskipun heparin saat ini telah dapat diperoleh dari jaringan paru-paru sapi (bovine), namun nyaris menimbulkan penolakan setelah munculnya kasus sapi gila (the bovine spongiform encephalopathy). (Warda, M. et al. 2003; Tovar et al. 2013). Selain dua contoh sediaan farmasi yang telah disebutkan di atas, dalam monograf British Pharmacopoeia (BP) Edisi 2012 tercamtum 27 sediaan obat menggunakan bahan dari porcine (babi), baik sebagai bahan aktif maupun sebagai bahan tambahan farmasetk.

Ketentuan yang berlaku di Malaysia untuk produk obat-obatan sebagaimana dalam Malaysian Standard MS 2424:2012, dimana perusahaan farmasi diwajibkan mematuhi aspek-aspek hukum syariah untuk obat-obatan sebagai berikut :

  1. Obat-obatan tidak boleh mengandung bagian atau produk hewan yang tidak halal atau tidak disembelih sesuai ketentuan Islam.
  2. Obat-obatan tidak boleh mengandung najis.
  3. Obat-obatan harus aman untuk digunakan manusia, yakni tidak beracun, tidak memabukkan atau tidak berbahaya bagi kesehatan sesuai dosis yang ditentukan.
  4. Obat-obatan tidak dapat dibuat, diproses atau diproduksi menggunakan peralatan yang terkontaminasi dengan najis.
  5. Obat-obatan tidak boleh  mengandung bagian manusia atau derivatnya yang tidak halal.
  6. Selama persiapan, pengolahan, penanganan, pengemasan, penyimpanan dan distribusi, mereka harus dipisahkan secara fisik dari produk tidak halal dan najis.

Untuk memenuhi ketentuan tersebut industri farmasi diharuskan menerapkan Cara Produksi Obat yang Baik untuk Obat-Obatan Halal (Good Manufacturing Practices (GMPs) for Halal Pharmaceuticals).

Bahan farmasi yang juga selalu membawa perhatian umat Islam adalah alkohol, lebih tepat etanol atau etil alkohol. Etanol adalah salah satu yang paling banyak digunakan pada sediaan cair  yang berfungsi sebagai penstabil. Etanol juga dapat digunakan sebagai pelarut dalam proses ekstraksi pada produk farmasi. Senyawa alkohol, seperti hidroksil(-OH) --- mengandung gugus fungsional ---, umumnya diperbolehkan dengan kondisi yang tidak berasal dari khamr (minuman beralkohol yang memabukkan atau minuman keras). Ketentuan produksi dan kuantitas etanol (etil alkohol) pada produk akhir (makanan atau obat-obatan) sangat kecil dan tidak akan memabukkan. (Jumlah yang ditoleransi adalah 0,01 persen pada produk akhir, dan menjadi ketentuan untuk sertifikasi halal di Malaysia, sebagaimana dikutip dari INHART IIUM, 2013). 

Isu Halal pada Produk Kosmetika

Kosmetika adalah bahan atau sediaan yang dimaksudkan untuk digunakan pada bagian luar tubuh manusia (epidermis, rambut, kuku, bibir dan organ genital bagian luar) atau gigi dan mukosa mulut terutama untuk membersihkan, mewangikan, mengubah penampilan dan/atau memperbaiki bau badan atau melindungi atau memelihara tubuh pada kondisi baik. (dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1176/MENKES/PERN/III/2010 Tentang Notifikasi Kosmetika).

Walaupun penggunaannya hanya pada bagian luar tubuh manusia, namun aspek keselamatan dalam penggunaannya adalah masalah penting dalam industri kosmetik. Penilaian keselamatan bagi kesehatan manusia dari produk jadi,  bahan, struktur kimia dan tingkat paparan pada produk kosmetika secara ketat diperlukan. Sehubungan dengan ini, sangat penting untuk memilih bahan yang aman untuk menjamin keamanan produk jadi. Bahan-bahan ini dapat dikategorikan ke dalam bahan kimia, ekstrak botani, ekstrak hewan dan pengharum/wewangian. Karena itu, penerapan GMP (Good Manufacturing Practice) dalam proses produksi kosmetika juga telah dipersyaratkan untuk memastikan keamanan produk tersebut.

Sedangkan terkait isu halal, beberapa bahan yang merupakan titik kritis kehalalan pada kosmetika adalah lemak, kolagen, elastin, ekstrak plasenta, cairan amnion, gliserin, cerebrospinal, asam alfa hidroksil (AHA), zat penstabil vitamin, dan hormon.  Bahan-bahan ini bisa bersumber atau diolah dari sumber hewani yang tidak halal. Dalam hubungan ini riset-riset di perguruan tinggi diharapkan juga mendorong penemuan raw materials, terutama dari sumber alami untuk kosmetik yang memenuhi persyaratan keamanan, kemanfaatan, mutu, serta jaminan halal. 

Isu Halal pada Produk Biofarmaseutika

Abad ke-21 sering kali disebut sebagai era bioteknologi. Bioteknologi dapat membawa banyak manfaat, tetapi juga menimbulkan banyak kekhawatiran bagi masyarakat dan berbagai negara. Organisme yang dimodifikasi secara genetik (GMOs =  Genetically modified organisms) adalah salah satu buah dari bioteknologi modern. GMO adalah hasil dari manipulasi yang disengaja dari bahan genetik dari suatu organisme-bakteri, ragi, jamur, tumbuhan dan hewan. Teknik bioteknologi dan proses, sebagaimana GMO tersebut memberikan kesempatan baru dalam industri farmasi – terutama yang menghasilkan produk biofarmaseutika. 

Setidaknya dua keprihatinan utama yang cukup mempengaruhi konsumen Muslim berkaitan dengan produk biofarmaseutika yakni bahan dan proses yang digunakan dalam pembuatan produk tersebut. Gen dalam setiap prosedur dan / atau GMO dalam produksi biofarmaseutika harus berasal dari sumber halal. Jika gen berasal dari sumber-sumber non-halal atau meragukan, maka produk biofarmasi tersebut tidak akan cocok untuk konsumen Muslim. Vektor dan inang untuk ekspresi protein harus divalidasi bahwa mereka tidak menimbulkan ancaman keracunan atau bersifat patogen. Selain itu, bahan yang digunakan dalam media pertumbuhan dan pengolahan hilir berikutnya harus aman dan tanpa haram atau meragukan. Adapun contoh produk biofarmasetika yakni protein, antibodi monoklonal, hormon dan enzim. (Hashim, Y.Z.H et al. 2013). Bentuk-bentuk sediaan yang banyak dikenal adalah vaksin, insulin, dan beberapa produk rekombinan-DNA. Tentu saja tidak semua dari contoh-contoh tersebut terkategori haram baik dari sumbernya maupun dari prosesnya. Karena itu diperlukan kajian untuk menetapkan kehalalan dan kesuciannya.


BERSAMBUNG KE BAGIAN KELIMA
--------------------------------------------------

No comments:

Post a Comment

Note: only a member of this blog may post a comment.