Housewife’s Memoir
Menjalani
kehidupan sebagai seorang ibu rumah tangga, dulu hanya terbayang dibenak saya
perkara yang sederhana dan indah. Kenyataannya ternyata tidaklah semudah itu. Sejatinya
begitu banyak peran yang bisa dijalankan dengan kemampuan yang dianugerahkan
kepadanya, dimana akan menjadi cahaya penerang bagi keluarga dan lingkungan
sekelilingnya tanpa harus meninggalkan kodratnya di rumah. Perempuan, demikian R.A.
Kartini berpandangan seperti yang pernah ditulisnya : perempuan itu jadi
soko guru peradaban! Bukan karena perempuan yang dipandang cakap untuk itu,
melainkan oleh karena saya sendiri yakin sungguh bahwa dari perempuan itu pun
mungkin timbul pengaruh yang besar, yang besar akibatnya, dalam hal membaikkan
maupun memburukkan kehidupan, bahwa dialah yang paling banyak dapat membantu
memajukan kesusilaan bangsa. Tulisan
ini hanyalah sebuah memoar seorang ibu rumah tangga yang berangkat dari harapan
sederhana, What is awe-inspiring in my life as a housewife ?
Karena
Itu Aku Harus Membaca dan Menulis
Menyadari
bahwa dalam sebuah rumah tangga, seorang ibu memiliki peran yang sangat
strategis. Peran yang terpenting bagi seorang ibu adalah mendidik anak-anaknya terutama
pada anak usia 0 – 5 tahun (golden age).
Namun, mengutip M. Anwar Djaelani dalam bukunya “Warnai Dunia dengan Manulis”
bahwa peran ibu yang strategis itu menuntut sejumlah syarat. Misalnya ; pertama, waktu yang cukup. Dalam konteks
ini, sulit kita bayangkan jika seorang ibu berkarir di luar rumah akan bisa
mendidik anak dengan baik. Kedua,
ilmu yang memadai. Mendidik anak tak cukup dengan hanya mengandalkan naluri
saja. Tetapi, bekal ilmu yang memadai sangat diperlukan agar mutu didikannya
optimal. Oleh karena itu, sangat relevan jika seorang ibu selalu berusaha
memerluas khazanah keilmuannya dengan terus belajar. Kegiatan membaca dan
menulis menuntunku untuk sampai pada titik kesadaran bahwa sebagai seorang ibu diriku
masih jauh dari sempurna.
Saya patut
bersyukur bahwa saya telah melalui proses pendidikan akademik hingga jenjang
profesi apoteker. Namun, saya menyadari begitu beragam khazanah keilmuan
sebagai bekal dalam menjalankan peran sebagai seorang ibu. Dulu sekali, ketika
masih di bangku kuliah yang terlintas hanya bagaimana mengejar strata
pendidikan yang memang menjadi impianku. Yang terlintas di angankan ketika itu
adalah lulus dari pendidikan akademik kemudian mengabdikan ilmu yang kuperoleh
di bangku kuliah. Kecintaanku pada bidang profesi yang menjadi pilihan hidupku
telah banyak menyita waktu dan perhatianku. Baca buku yes, tapi ketertarikanku
hanya pada buku-buku yang mendukung peningkatan kompetensi sebagai apoteker.
Hingga memasuki jenjang pernikahan saya tak dapat mengubah kebiasaan pada
kegandrunganku pada buku-buku farmasi, dan sesekali pada buku-buku yang bertema
keagamaan. Saya tipe orang yang sangat selektif dalam membaca.
Hingga suatu
ketika, saya memilih fokus pada keluarga ditambah dengan keputusan suamiku
untuk melanjutkan studinya di luar negeri. Saya turut hijrah ke tempat suamiku
melanjutkan studinya (Kuala Lumpur) dan meninggalkan profesi yang selama ini
kugeluti. Sebuah situasi yang membalikkan pandanganku untuk mencoba menggeluti
bidang bacaan di luar dari ketertarikanku sebelumnya. Mulai dari buku-buku
fiksi hingga buku-buku pengembangan diri. Sekalipun suamiku berusaha mengingatkan untuk tetap selektif dalam
membaca buku, karena tidak semua buku baik untuk dibaca. Entah berawal dari
mana muncul keinginan untuk menuangkan pengalaman-pengalaman yang terlewati
dalam bentuk tulisan.
Gayung
bersambut, di Kuala Lumpur saya dipertemukan dengan kumpulan istri-istri yang
menamakan dirinya PERISAI (Persatuan Istri Dosen Asal Indonesia) Menulis.
Menulis secara serius adalah hal yang baru bagiku tetapi tidak membuatku putus
harapan. Dunia menulis yang pernah aku geluti hanya sebatas goresan pena di
atas catatan harian (diary). Itupun hilang
tak terawat karena kesibukan semasa kuliah yang begitu banyak menyita waktu.
Kuliah di farmasi sungguh berat, dimana setiap hari bergelut dengan laboratorium
sehingga tak ada waktu untuk menuangkan karya secara serius dalam bentuk sebuah
tulisan. Saya larut dengan setumpuk tugas yang harus dikumpulkan setiap hari.
Demikianlah rutinitas harian berputar di sekitar ruang
kuliah-perpustakaan-laboratorium, dan bekerja sambilan di sebuah apotek di
malam hari.
Kini, aku
adalah seorang istri dan ibu dari lima orang anak. Empat belas tahun melewati masa pernikahan dan
segalanya serasa mengalir datar-datar saja. Hanya pada persoalan anak yang
kadang-kadang membuatku sedikit galau. Ketika menyelesaikan kuliah dan memasuki
jenjang pernikahan, saya memang memilih pekerjaan yang bisa membuatku
memungkinkan selalu dekat dengan anak-anak. Bekerja sebagai apoteker di sebuah
apotek yang kami rintis secara mandiri sejak di awal masa pernikahan.
Kemungkinanku untuk selalu bisa dekat dengan anak-anak di usianya yang dini membuatku
merasa tidak menemukan masalah yang serius dalam hal mengasuh anak-anak. Walaupun
akhirnya kusadari bahwa mendidik anak tak cukup dengan hanya mengandalkan
naluri saja, meminjam istilah M. Anwar Djaelani seperti yang telah dikutip di
atas. Hal yang mendorongku untuk terus berusaha membaca beragam buku-buku. Satu
episode yang mendorongku untuk beranjak memulai sesuatu yang baru : menulis. @ Oleh : Andi Himyatul Hidayah
No comments:
Post a Comment
Note: only a member of this blog may post a comment.