Thursday 5 December 2013

Housewife’s Memoir


Housewife’s Memoir



Menjalani kehidupan sebagai seorang ibu rumah tangga, dulu hanya terbayang dibenak saya perkara yang sederhana dan indah. Kenyataannya ternyata tidaklah semudah itu. Sejatinya begitu banyak peran yang bisa dijalankan dengan kemampuan yang dianugerahkan kepadanya, dimana akan menjadi cahaya penerang bagi keluarga dan lingkungan sekelilingnya tanpa harus meninggalkan kodratnya di rumah. Perempuan, demikian R.A. Kartini berpandangan seperti yang pernah ditulisnya : perempuan itu jadi soko guru peradaban! Bukan karena perempuan yang dipandang cakap untuk itu, melainkan oleh karena saya sendiri yakin sungguh bahwa dari perempuan itu pun mungkin timbul pengaruh yang besar, yang besar akibatnya, dalam hal membaikkan maupun memburukkan kehidupan, bahwa dialah yang paling banyak dapat membantu memajukan kesusilaan bangsa. Tulisan ini hanyalah sebuah memoar seorang ibu rumah tangga yang berangkat dari harapan sederhana, What is awe-inspiring in my life as a housewife ?

Karena Itu Aku Harus Membaca dan Menulis

Menyadari bahwa dalam sebuah rumah tangga, seorang ibu memiliki peran yang sangat strategis. Peran yang terpenting bagi seorang ibu adalah mendidik anak-anaknya terutama pada anak usia 0 – 5 tahun (golden age). Namun, mengutip M. Anwar Djaelani dalam bukunya “Warnai Dunia dengan Manulis” bahwa peran ibu yang strategis itu menuntut sejumlah syarat. Misalnya ; pertama, waktu yang cukup. Dalam konteks ini, sulit kita bayangkan jika seorang ibu berkarir di luar rumah akan bisa mendidik anak dengan baik. Kedua, ilmu yang memadai. Mendidik anak tak cukup dengan hanya mengandalkan naluri saja. Tetapi, bekal ilmu yang memadai sangat diperlukan agar mutu didikannya optimal. Oleh karena itu, sangat relevan jika seorang ibu selalu berusaha memerluas khazanah keilmuannya dengan terus belajar. Kegiatan membaca dan menulis menuntunku untuk sampai pada titik kesadaran bahwa sebagai seorang ibu diriku masih jauh dari sempurna. 

Saya patut bersyukur bahwa saya telah melalui proses pendidikan akademik hingga jenjang profesi apoteker. Namun, saya menyadari begitu beragam khazanah keilmuan sebagai bekal dalam menjalankan peran sebagai seorang ibu. Dulu sekali, ketika masih di bangku kuliah yang terlintas hanya bagaimana mengejar strata pendidikan yang memang menjadi impianku. Yang terlintas di angankan ketika itu adalah lulus dari pendidikan akademik kemudian mengabdikan ilmu yang kuperoleh di bangku kuliah. Kecintaanku pada bidang profesi yang menjadi pilihan hidupku telah banyak menyita waktu dan perhatianku. Baca buku yes, tapi ketertarikanku hanya pada buku-buku yang mendukung peningkatan kompetensi sebagai apoteker. Hingga memasuki jenjang pernikahan saya tak dapat mengubah kebiasaan pada kegandrunganku pada buku-buku farmasi, dan sesekali pada buku-buku yang bertema keagamaan. Saya tipe orang yang sangat selektif dalam membaca.

Hingga suatu ketika, saya memilih fokus pada keluarga ditambah dengan keputusan suamiku untuk melanjutkan studinya di luar negeri. Saya turut hijrah ke tempat suamiku melanjutkan studinya (Kuala Lumpur) dan meninggalkan profesi yang selama ini kugeluti. Sebuah situasi yang membalikkan pandanganku untuk mencoba menggeluti bidang bacaan di luar dari ketertarikanku sebelumnya. Mulai dari buku-buku fiksi hingga buku-buku pengembangan diri. Sekalipun suamiku berusaha mengingatkan untuk tetap selektif dalam membaca buku, karena tidak semua buku baik untuk dibaca. Entah berawal dari mana muncul keinginan untuk menuangkan pengalaman-pengalaman yang terlewati dalam bentuk tulisan.

Gayung bersambut, di Kuala Lumpur saya dipertemukan dengan kumpulan istri-istri yang menamakan dirinya PERISAI (Persatuan Istri Dosen Asal Indonesia) Menulis. Menulis secara serius adalah hal yang baru bagiku tetapi tidak membuatku putus harapan. Dunia menulis yang pernah aku geluti hanya sebatas goresan pena di atas catatan harian (diary). Itupun hilang tak terawat karena kesibukan semasa kuliah yang begitu banyak menyita waktu. Kuliah di farmasi sungguh berat, dimana setiap hari bergelut dengan laboratorium sehingga tak ada waktu untuk menuangkan karya secara serius dalam bentuk sebuah tulisan. Saya larut dengan setumpuk tugas yang harus dikumpulkan setiap hari. Demikianlah rutinitas harian berputar di sekitar ruang kuliah-perpustakaan-laboratorium, dan bekerja sambilan di sebuah apotek di malam hari.

Kini, aku adalah seorang istri dan ibu dari lima orang anak. Empat belas tahun melewati masa pernikahan dan segalanya serasa mengalir datar-datar saja. Hanya pada persoalan anak yang kadang-kadang membuatku sedikit galau. Ketika menyelesaikan kuliah dan memasuki jenjang pernikahan, saya memang memilih pekerjaan yang bisa membuatku memungkinkan selalu dekat dengan anak-anak. Bekerja sebagai apoteker di sebuah apotek yang kami rintis secara mandiri sejak di awal masa pernikahan. Kemungkinanku untuk selalu bisa dekat dengan anak-anak di usianya yang dini membuatku merasa tidak menemukan masalah yang serius dalam hal mengasuh anak-anak. Walaupun akhirnya kusadari bahwa mendidik anak tak cukup dengan hanya mengandalkan naluri saja, meminjam istilah M. Anwar Djaelani seperti yang telah dikutip di atas. Hal yang mendorongku untuk terus berusaha membaca beragam buku-buku. Satu episode yang mendorongku untuk beranjak memulai sesuatu yang baru : menulis. @ Oleh : Andi Himyatul Hidayah

No comments:

Post a Comment

Note: only a member of this blog may post a comment.