Pengalaman Dirawat di ‘Hospital’ Kuala Lumpur Malaysia
Oleh : Andi Himyatul Hidayah
Menanggapi Tulisan Sdr. Febrialdi di Kompasiana 31 Oktober 2013 : Bayi Naila Meninggal Dipangkuan Ibu Setelah di Tolak Dirawat di Rumah Sakit Lasinrang Sulawesi Selatan Karena Tidak Membawa Surat Keterangan Lahir.
--------------------------
Pelayanan rumah sakit di Indonesia khususnya RS Pemerintah memang sudah sepatutnya dikritisi. Tidak seluruhnya buruk tapi sering kali kita menerima kesan out of patient oriented. Saya sangat miris membaca artikel sdr. Febrialdi (dalam link tulisan ini) : Naila menghembuskan nafas terakhir dipangkuan ibunya, sebelum sempat mendapatkan perawatan (rumah sakit, pen), akibat proses administrasi yang berbelit dan bertele-tele. Melihat kondisi Naila pada saat itu dengan nafas yang tersengal-sengal, harusnya segera mendapatkan perawatan darurat dulu tanpa ditanyakan urusan administrasi yang berbelit. Naila sempat dibawa orang tuanya ke Puskesmas. Kemudian diberikan surat rujukan untuk dirawat ke rumah sakit Lasinrang.
Pengalaman saya mendapat
perawatan di Hospital Kuala Lumpur Malaysia dalam sebuah accident November 2012
lalu mungkin bisa disharing sebagai bahan perbandingan. Meskipun tidak
seluruhnya dapat disandingkan dengan apa yang telah dialami oleh pasien
meninggal Naila di Rumah Sakit Lasinrang, seperti pada tulisan Sdr. Febrialdi.
Namun, yang sangat mengesankan ketika itu adalah tidak hanya pada kelengkapan
instrument rumah sakit, tapi ‘bangunan’ sistem pelayanan medik sangat menunjang
terciptanya orientasi pasien sebagai ‘primary goal’ di Rumah
Sakit.
Berawal ketika saya mengalami
kecelakaan (dilanggar kereta dalam bahasa Malaysia) di depan PWTC, Jl. Tun
Ismail Kuala Lumpur oleh mobil Kembara. Tragis, karena driver-nya panik sehingga
mobil tersebut terus bergerak sampai akhirnya saya ditemukan di bawah mobil.
Bisa dibayangkan betapa sangat mengerikan karena ban mobil belakang berhenti di
atas dada kiri saya. Saya dilarikan ke Rumah Sakit dalam keadaan tidak sadarkan
diri, dan semua saksi mata yang melihat saya di tempat kejadian menyimpulkan
bila saya tidak akan bertahan. Tulang lengan kiri, tulang rusuk, tulang paha
kanan dalam kondisi fracture (patah), dan paru-paru tidak mengembang
karena tindihan ban mobil. Tapi Alhamdulillah, Allah SWT berkehendak lain.
Inilah yang sangat mengesankan
ketika mendengar cerita tentang kesigapan pihak Hospital Kuala Lumpur dalam
menangani ‘pesakit’ (pasien). Dokter-dokter ahli dan petugas rumah sakit
bergerak sangat cepat tanpa tedeng aling-aling. Tidak ada pertanyaan ;
pasien ini siapa, sudah urus administasi belum, sanggup bayar apa tidak,
pesakit umum atau Askes ????. Pertanyaan itu urusan belakangan.
Setelah mendapat pemeriksaan dan
tindakan medis secara lengkap dari berbagai dokter pakar (ahli), selanjutnya
petugas rumah sakit memanggil keluarga pesakit untuk turut mendengarkan
presentasi para dokter. Penjelasan yang komplit dan terang benderang tentang
kondisi terkini pesakit dimana semua hasil scan, foto-foto X-Ray dan catatan
medik dari masing-masing dokter dibacakan dan dijelaskan di depan keluarga
pesakit dan rencana tindakan medis selanjutnya. Poinnya adalah semua informasi
yang berkenaan adalah hak penderita dan atau keluarganya. Dan, setiap
perkembangan yang terjadi dikomunikasikan dari hari ke hari tanpa perlu anda
mengajukan pertanyaan, termasuk pada kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi.
Mereka sangat komunikatif dan friendly. ‘Tidak angker, dan tidak sok
ekslusif’.
Di sisi yang lain, dalam hal
pelayanan kefarmasian, dimana semua obat-obatan, alkes dan bahan farmasi yang
dibutuhkan oleh pasien selama dalam perawatan rumah sakit ditangani secara baik
oleh pihak instalasi. Rumah sakit di Indonesia pun demikian, namun obat-obat
dan bahan farmasi yang melimpah belum cukup dapat dimanage dengan baik oleh
pihak Instalasi. Pengalaman saya dirawat di Hospital Kuala Lumpur tidak pernah
sekalipun suami saya harus repot-repot memikirkan kebutuhan obat, alkes, dan
bahan farmasi yang diperlukan selama dalam perawatan rumah sakit. Mereka pun
sebenarnya seringkali kehabisan stok, tapi mereka tidak mendelegasikan tugas
tersebut ke pihak pesakit atau penjaganya. Petugas Farmasi yang ditempatkan di
setiap ward (bangsal) bertanggung jawab penuh terhadap semua kebutuhan
farmasi yang diperlukan di ward tersebut, termasuk menangani bila ada
keluhan pasien terhadap penggunaan obat.
Saya kira, mengkritisi sistem
pelayanan rumah sakit di Indonesia tidak hanya pada sistem pelayanan
administrasi rumah sakit saja, tapi pada banyak aspek. Menurut saya, apa yang
dialami oleh Keluarga Naila di Rumah Sakit Lasinrang Sulawesi Selatan dapat
saja terjadi di Rumah Sakit manapun di Indonesia sepanjang pemerintah tidak
segera merombak standar pelayanan rumah sakit yang lebih ‘manusiawi’. Apa yang
dialami oleh Keluarga Naila dan beberapa kasus yang serupa bukti nyata belum
memadainya sistem pelayanan rumah sakit di Indonesia. @ Andi Himyatul Hidayah
**********************
No comments:
Post a Comment
Note: only a member of this blog may post a comment.