Menulis dari Catatan Harian, Takut Riya’
Oleh
: Andi Himyatul Hidayah
Menulis
bisa bermula dari catatan harian. Setelah membuka dan membaca kembali catatan
harian yang berisi segala curahan hati. Terpercik satu keinginan : bisakah
catatan-catatan ini dirangkai menjadi suatu tulisan ? Kenapa tidak, pikirku.
Tapi apakah tidak menimbulkan penafsiran miring setelah dibaca orang lain ?
Misalnya dianggap unjuk diri, pamer dan semacamnya yang berujung pada riya’.
Apakah
dengan menghasilkan suatu tulisan yang terselip catatan perjalanan pribadi bisa
bertafsir dan berujung pada riya’ ? Tulisan ini tentu tidak untuk menjawab
pertanyaan itu, karena segala perbuatan tergantung pada niat. Sekalipun
kadang-kadang timbul pertanyaan di hati, takutnya jadi riya’. Ini yang agaknya
juga dialami seorang Ibu di PERISAI-Menulis, seperti yang ditulisnya di akun fb
:
“Afwan, kadang-kadang ketika saya
menulis, ada terselip catatan harian. Hanya saja, saya khawatir kelihatan riya’
atau pamer atau unjuk gigi. Seolah-olah aku dianggap lebih baik dari yang lain.
Padahal bukan itu yang saya maksudkan. Sekali lagi, saya terkadang menyesal
ketika usai menulis…”
Menulis
adalah sebuah aktivitas yang tentu ada konsekuensinya. Dapat menjadi ibadah,
dan bisa juga menjadi sebaliknya. Syarat paling utama suatu amalan diterima di
sisi Allah adalah ikhlas. Ikhlas adalah satu amalan yang sangat berat. Cobalah
kita renungkan setiap amalan kita, sudahkah terbebas dari maksud duniawi ?
Ikhlas, tanpanya amalan seseorang akan sia-sia belaka. Syaitan tidak
henti-hentinya memalingkan manusia, menjauhkan mereka dari keikhlasan. Salah
satunya adalah melalui pintu riya’ yang banyak tidak disadari setiap hamba.
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa riya’ termasuk syirik khafi yang samar
dan tersembunyi. Hal ini karena riya’ terkait dengan niat yang merupakan amalan
hati yang hanya diketahui oleh Allah Ta’ala. Tidak ada yang mengetahui
niat dan maksud seseorang kecuali Allah SWT semata.
Yang
dimaksud riya’ adalah seseorang melakukan suatu amalan agar orang lain bisa
melihatnya kemudian memuji dirinya. Termasuk dalam definisi riya’ adalah
sum’ah, yakni melakukan suatu amalan agar orang lain mendengar apa yang
dilakukan, sehingga pujian dan ketenaran pun datang. Riya’ dan semua derivatnya
merupakan perbuatan dosa dan merupakan sifat orang-orang munafik.
Dalam
Fathul Bari, Ibnu Hajar Al-Asqalani mengetengahkan pendapat Izzudin bin
Abdussalam yang membedakan antara riya dan sum’ah. Bahwa riya adalah sikap
seseorang yang beramal bukan untuk Allah; sedangkan sum’ah adalah sikap
seseorang yang menyembunyikan amalnya untuk Allah, namun ia bicarakan hal
tersebut kepada manusia. Sehingga, menurutnya semua riya itu tercela, sedangkan
sum’ah adalah amal terpuji jika ia melakukannya karena Allah dan untuk
memperoleh ridha-Nya, dan tercela jika dia membicarakan amalnya di hadapan
manusia.
Selain
dalam pengertian riya’
dan sum’ah
seperti yang disebutkan di atas, ada pula yang disebut dengan ujub. Sufyan
Ats-Tsauri rohimahumulloh, meringkas definisi ujub sebagai berikut: “yaitu
perasaan takjub terhadap diri sendiri sehingga seolah-olah dirinyalah yang
paling utama daripada yang lain”. Imam Syafi’i rohimahumulloh berkata :
“Baransgsiapa yang mengangkat-angkat diri secara berlebihan, niscaya Allah akan
menjatuhkan martabatnya”. Para ulama juga
menerangkan bahwa ujub merupakan sebab terhapusnya pahala seseorang, karena
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan bahwa ujub sebagai hal-hal
yang membinasakan.
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam telah mengajarkan kepada kita sebuah doa untuk
melindungi diri kita dari syirik besar maupun syirik kecil.
Rasululllah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan kita melalui
sabdanya, “Wahai sekalian manusia, jauhilah dosa syirik, karena syirik itu
lebih samar daripada rayapan seekor semut”. Lalu ada orang yang bertanya,
“Wahai Rasulullah, bagaimana kami dapat menjauhi dosa syirik, sementara ia
lebih samar daripada rayapan seekor semut ?”. Rasulullah berkata : “Ucapkanlah
: Allāhumma inni a’uudzubika
an usyrika bika wa anaa a’lam wa astaghfiruka limaa laa a’lam (‘Ya
Allah, aku berlindung kepada-Mu dari perbuatan syirik yang aku
sadari. Dan aku memohon ampun kepada-Mu atas dosa-dosa yang tidak aku ketahui)”
(HR. Ahmad, shahih).
Kembali
ke persoalan awal bahwa menulis yang sejatinya dapat menjadi sarana
identifikasi dan aktualisasi diri, seyogyanya juga menjadi sarana ibadah.
Menulis bisa juga sebagai terapi, misalnya ketika hati sedang galau. Untuk
meredam situasi tersebut sebaiknya ambillah pulpen dan buku, tuangkanlah segala
isi hati. Insya Allah lambat laun perasaan jadi tenang, dengan tentu tak lupa
bermunajab kepada-Nya. Dan, dari goresan itu mungkin ada yang dapat disharing
sebatas curahan hati, cermin dan motivasi kebaikan buat orang lain, dan tidak
berharap akan pujian. Dari Abu Mas’ud al-Anshari, ia berkata: ‘Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebajikan maka baginya seperti pahala
orang yang melakukannya.” HR. Muslim. @ Wallaahu a’lam bissawab.
Republished from Kompasiana
**************************
No comments:
Post a Comment
Note: only a member of this blog may post a comment.