Sunday 5 January 2014

Menulis dari Catatan Harian, Takut Riya’



Menulis dari Catatan Harian, Takut Riya’
Oleh : Andi Himyatul Hidayah


Menulis bisa bermula dari catatan harian. Setelah membuka dan membaca kembali catatan harian yang berisi segala curahan hati. Terpercik satu keinginan : bisakah catatan-catatan ini dirangkai menjadi suatu tulisan ? Kenapa tidak, pikirku. Tapi apakah tidak menimbulkan penafsiran miring setelah dibaca orang lain ? Misalnya dianggap unjuk diri, pamer dan semacamnya yang berujung pada riya’.

Apakah dengan menghasilkan suatu tulisan yang terselip catatan perjalanan pribadi bisa bertafsir dan berujung pada riya’ ? Tulisan ini tentu tidak untuk menjawab pertanyaan itu, karena segala perbuatan tergantung pada niat. Sekalipun kadang-kadang timbul pertanyaan di hati, takutnya jadi riya’. Ini yang agaknya juga dialami seorang Ibu di PERISAI-Menulis, seperti yang ditulisnya di akun fb :

Afwan, kadang-kadang ketika saya menulis, ada terselip catatan harian. Hanya saja, saya khawatir kelihatan riya’ atau pamer atau unjuk gigi. Seolah-olah aku dianggap lebih baik dari yang lain. Padahal bukan itu yang saya maksudkan. Sekali lagi, saya terkadang menyesal ketika usai menulis…”

Menulis adalah sebuah aktivitas yang tentu ada konsekuensinya. Dapat menjadi ibadah, dan bisa juga menjadi sebaliknya. Syarat paling utama suatu amalan diterima di sisi Allah adalah ikhlas. Ikhlas adalah satu amalan yang sangat berat. Cobalah kita renungkan setiap amalan kita, sudahkah terbebas dari maksud duniawi ? Ikhlas, tanpanya amalan seseorang akan sia-sia belaka. Syaitan tidak henti-hentinya memalingkan manusia, menjauhkan mereka dari keikhlasan. Salah satunya adalah melalui pintu riya’ yang banyak tidak disadari setiap hamba.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa riya’ termasuk syirik khafi yang samar dan tersembunyi. Hal ini karena riya’ terkait dengan niat yang merupakan amalan hati yang hanya diketahui oleh Allah Ta’ala. Tidak ada yang mengetahui niat dan maksud  seseorang kecuali Allah SWT semata.

Yang dimaksud riya’ adalah seseorang melakukan suatu amalan agar orang lain bisa melihatnya kemudian memuji dirinya. Termasuk dalam definisi riya’ adalah sum’ah, yakni melakukan suatu amalan agar orang lain mendengar apa yang dilakukan, sehingga pujian dan ketenaran pun datang. Riya’ dan semua derivatnya merupakan perbuatan dosa dan merupakan sifat orang-orang munafik.

Dalam Fathul Bari, Ibnu Hajar Al-Asqalani mengetengahkan pendapat Izzudin bin Abdussalam yang membedakan antara riya dan sum’ah. Bahwa riya adalah sikap seseorang yang beramal bukan untuk Allah; sedangkan sum’ah adalah sikap seseorang yang menyembunyikan amalnya untuk Allah, namun ia bicarakan hal tersebut kepada manusia. Sehingga, menurutnya semua riya itu tercela, sedangkan sum’ah adalah amal terpuji jika ia melakukannya karena Allah dan untuk memperoleh ridha-Nya, dan tercela jika dia membicarakan amalnya di hadapan manusia.

Selain dalam pengertian riya’ dan sum’ah seperti yang disebutkan di atas, ada pula yang disebut dengan ujub. Sufyan Ats-Tsauri rohimahumulloh, meringkas definisi ujub sebagai berikut: “yaitu perasaan takjub terhadap diri sendiri sehingga seolah-olah dirinyalah yang paling utama daripada yang lain”. Imam Syafi’i rohimahumulloh berkata : “Baransgsiapa yang mengangkat-angkat diri secara berlebihan, niscaya Allah akan menjatuhkan martabatnya”. Para ulama juga menerangkan bahwa ujub merupakan sebab terhapusnya pahala seseorang, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan bahwa ujub sebagai hal-hal yang membinasakan.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengajarkan kepada kita sebuah doa untuk melindungi diri kita dari syirik besar maupun syirik kecil. Rasululllah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan kita melalui sabdanya, “Wahai sekalian manusia, jauhilah dosa syirik, karena syirik itu lebih samar daripada rayapan seekor semut”. Lalu ada orang yang bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana kami dapat menjauhi dosa syirik, sementara ia lebih samar daripada rayapan seekor semut ?”. Rasulullah berkata : “Ucapkanlah : Allāhumma inni a’uudzubika an usyrika bika wa anaa a’lam wa astaghfiruka limaa laa a’lam (‘Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari perbuatan syirik yang aku sadari. Dan aku memohon ampun kepada-Mu atas dosa-dosa yang tidak aku ketahui)” (HR. Ahmad, shahih).

Kembali ke persoalan awal bahwa menulis yang sejatinya dapat menjadi sarana identifikasi dan aktualisasi diri, seyogyanya juga menjadi sarana ibadah. Menulis bisa juga sebagai terapi, misalnya ketika hati sedang galau. Untuk meredam situasi tersebut sebaiknya ambillah pulpen dan buku, tuangkanlah segala isi hati. Insya Allah lambat laun perasaan jadi tenang, dengan tentu tak lupa bermunajab kepada-Nya. Dan, dari goresan itu mungkin ada yang dapat disharing sebatas curahan hati, cermin dan motivasi kebaikan buat orang lain, dan tidak berharap akan pujian. Dari Abu Mas’ud al-Anshari, ia berkata: ‘Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebajikan maka baginya seperti pahala orang yang melakukannya.” HR. Muslim. @ Wallaahu a’lam bissawab. 

Republished  from Kompasiana 

**************************

No comments:

Post a Comment

Note: only a member of this blog may post a comment.