Judul Buku : Islam Labuhan Hati
Pengarang : Maryam Jamilah
Penterjemah : Drs. Achmad Zulkarnain
Penerbit : Risalah Gusti, Surabaya
Cetakan : Pertama, Rajab 1414 H
Tebal : 120 Halaman
Buku dengan judul asli ”Islam in Theory
and Practice”, yang disunting dan diterjemahkan dalam edisi Indonesia dengan
revisi judul yang cukup menggelitik keberislaman kita; Islam Labuhan Hati, akan
menjadi referensi dan bahan kajian yang cukup penting guna memperluas wawasan
berfikir tentang islam.
Buku yang terdiri dari 12 Bab ini
merupakan rangkuman dari beberapa tulisan buah pena Maryam Jamilah yang
ditulisnya semenjak masih mendapatkan pendidikan non-muslim hingga memeluk agama
Islam. Buku ini sarat dengan informasi dan illustrasi aktual tentang dunia
Islam yang dibenturkan dengan kultur Barat.
Maryam Jamilah (Maryam Jameelah, yang
semula bernama Margaret Marcus) lahir di tengah keluarga Yahudi, dan dibesarkan
di tengah kultur Barat sangat tepat untuk dapat merefleksikan sekularisme Barat
secara komparatif. Seperti di hampir semua bagian buku ini Maryam dengan sangat
jeli melakukan pembedahan anatomi peradaban Barat yang dikomparasikan dengan
nilai-nilai luhur ajaran Islam.
Menapaktilasi buah renungan Maryam
Jamilah dalam buku ini, kita dapat menangkap sebuah tawaran ‘tuk membumikan
Manhajul Islam secara totalitas. Tapi mungkinkan itu dapat maujud di hati
ummah, justru di saat yang sangat memprihatinkan propaganda dan mispersepsi
Barat terhadap Islam terus dihembuskan untuk menanamkan keragu-raguan terhadap
otoritas ajaran Islam.
Buku karya Maryam Jamilah ini memang
bukanlah sebuah referensi untuk mencari pembenaran-pembenaran terhadap Islam.
Karena Al qur’an sebagai landasan hidup muslim secara aksiomatik benar adanya.
Namun, bagi generasi muda islam khususnya akan menjadi sangat penting sebagai
bahan renungan dalam menata sebuah struktur pola berpikir dan tindakan yang
Islami. Sebab boleh jadi, kita telah terperangkap tanpa sadar ke dalam
lingkaran budaya import yang sengaja dikemas oleh musuh-musuh Islam untuk
mengacaukan wujud iman kita.
Sebagaimana Barat memandang Islam,
melalui kacamata agnostik humanisme - dasar teologi transendental dan
absolutisme moral - yang menyatakan bahwa konstitusi Islam adalah “statis”,
“reaksioner” dan “mengambang”, dimana sistem ini tidak berevolusi dan
berkembang. Membatasi gerak pengikutnya dengan kultur primitif semasa Nabinya
hidup. Konsekwensinya, akan menghalangi harapan seluruh ummat manusia untuk
“maju” atau mengembangkan kreatifitasnya. Maka lahirlah etika, gaya hidup dan
kesenian Barat yang menimbulkan polemik yang amat bertentangan dengan keyakinan
kita sebagai seorang muslim.
Cara-cara Barat tidak hanya berbeda
secara keseluruhan, tapi juga sangat bertentangan dengan hampir segala aspek
ajaran Islam. Namun, ironisnya kaum muslimin yang hidup (atau yang berharap
hidup) dengan cara-cara Barat Modern, tidak hanya mempromosikan perbudakan
emosi dan jiwa mereka, tetapi juga secara terang-terangan melanggar Sunnah
Rasulullah SAW.
Sekarang menurut dugaan orang, Islam
telah diganti dengan kultur Barat modern, mereka menerimanya sebagai sesuatu
yang lampau, yang tidak dapat dihidupkan kembali.
Sekaitan dengan hal tersebut Maryam
menggaris bawahi, sebab utama kesalahpahaman tersebut adalah sulitnya
mendamaikan pertentangan antara moral dengan nilai-nilai spiritual. Dengan
gamblang Maryam mengetengahkan illustrasi, bagaimana mewabahnya dekandensi
moral, kegelisahan jiwa sebagai ekses dari filsafat kebebasan pribadi
(individu) yang berakar dari kultur Barat.
Membaca buku Maryam Jamilah ini kita
menemukan kesan pembahasan yang melompat-lompat (jumping coclution). Namun hal
ini dapat dipahami mengingat buku ini berangkat dari pengalaman dan pergolakan
spiritual dari penulisnya yang lebih menonjolkan rasionalisme dan emosional
spiritualnya.
Dan, pada bagian yang lain Maryam
mencoba membedah profil kaumnya (muslimah) di atas otoritas ajaran Islam yang
banyak mendapat sorotan tajam dari misionaris Barat.
Maryam sebagai sosok muallaf muslimah
yang telah melalui pergolakan dan perjalanan panjang menuju Jazirah Arab (yang
disebutnya sebagai perjalanan pulang menuju rumah sesungguhnya), menyaksikan
kenyataan yang bertolak belakang dari tudingan misionaris Barat terhadap
”kemerosotan kaum wanita dalam Islam” dan “kedudukannya yang rendah” di dalam
masyarakat muslim.
Maryam menuliskan, “Saya tidak pernah
melihat adanya tanda-tanda “kemerosotan kaum wanita muslim”, dan tidak pernah
pula menyaksikan adanya perlakuan yang kejam ataupun perlakuan lain yang tidak
etis. Baik di Mesir, Sudan, Saudi Arabia atau di Pakistan, tanpa memperhatikan
status sosial dan ekonomi. Saat berkesempatan mengunjungi negara-negara Islam,
dan bertamu ke rumah keluarga muslim, saya melihat kaum wanita muslim mendapat
kasih sayang penuh dari suami-suami mereka, juga kehormatan dan perhatian. Dan,
kini sebagai ibu, istri dan sekaligus anggota dari sebuah keluarga besar di
Lahore, saya sendiri telah mengalami hal yang sama”.
Menanggapi soal gerakan “emansipasi”,
Maryam menuliskan, “gerakan emansipasi” wanita diakui oleh seluruh kaum
muslimin, sepanjang terbebas dari konspirasi yang membahayakan terhadap
hancurnya pilar-pilar rumah tangga dan keluarga, serta yang pada akhirnya akan
menghancurkan masyarakat kita seluruhnya”.
Menurut Maryam, slogan murahan “hak-hak
wanita”, “emansipasi”, dan “kemajuan”, hanya menjanjikan seperti tirai asap
terhadap kaburnya tujuan nyata. Gerakan emansipasi wanita di negara-negara muslim
tidaklah berbeda dalam menimbulkan malapetaka yang terjadi di mana-mana. Akibat
selanjutnya yang tidak dapat dielakkan adalah hancurnya rumah tangga, keluarga,
dan seluruh kerangka sosial dan moral masyarakat.
Maryam dengan tanpa ragu-ragu menawarkan
satu tips tentang profil wanita muslim; “profil wanita muslim diharapkan hidup
dalam kebebasan”. Jilbab (hijab, pen) adalah
cara yang sangat tepat untuk mengakhiri semua ini, dimana kaum laki-laki adalah
aktor di atas panggung sejarah. Fungsi wanita adalah untuk membantu mereka dari
balik layar -suatu motivator- dan mungkin peran yang lebih rendah, tapi tidak
sesuatu yang hina untuk memelihara jalan hidup kita” (halaman 92).
Secara konseptual ungkapan Maryam itu
lebih bertitik tolak pada sebuah bentuk penyerahan diri terhadap kebenaran
mutlak ajaran Islam.
Tapi apa yang dapat saya katakan ketika
mencermati dan mencoba merenungkan kembali pernyataan Maryam itu : mungkin
sudah menjadi kodrat alam kaum laki-laki memiliki tabiat kepemimpinan (refleksi
transformasi kesahihan imamah dalam Shalatuljamaah), dan dapat memerankannya
sedikit lebih baik, tetapi pada kondisi dan saat bersamaan, menurut saya,
hakekat kepemimpinan justru berada di tangan wanita. –Suatu motivator-,
bukankah akan menjadi peran yang sangat ekslusif ?
Akhirul kalam, hanya kepada Islamlah
sebagai orientasi labuhan hati. Karena di sana tersimpan sebuah janji yang
hakiki akan sebuah kedamaian dan kebahagiaan yang tidak akan pernah pupus. Di
dalam masyarakat Islam tidak akan ada pemikiran yang membingungkan seperti
terhadap perkara yang benar maupun yang salah. Dan tentu saja di dalam masyarakat
Islam juga terdapat manusia yang menderita. Duka cita adalah bagian yang tidak
terpisahkan dari kehidupan ini, sebagaimana adanya kegembiraan. Wallahu A’lam Bissawad
@ Andi Himyatul Hidayah dan Andi Surya Amal (Renungan, Medio April 1997).
Baca juga : Short Biography of Maryam Jameelah
----------------------------------------------------------------------
Baca juga : Short Biography of Maryam Jameelah
----------------------------------------------------------------------
No comments:
Post a Comment
Note: only a member of this blog may post a comment.