Thursday 9 January 2014

Profil Muslimah dalam Tantangan Globalisasi




Refleksi Transformasi dari Sebuah Renungan Buku

Judul Buku      : Islam Labuhan Hati
Pengarang     : Maryam Jamilah
Penterjemah   : Drs. Achmad Zulkarnain
Penerbit          : Risalah Gusti, Surabaya
Cetakan          : Pertama, Rajab 1414 H
Tebal               : 120 Halaman

Buku dengan judul asli ”Islam in Theory and Practice”, yang disunting dan diterjemahkan dalam edisi Indonesia dengan revisi judul yang cukup menggelitik keberislaman kita; Islam Labuhan Hati, akan menjadi referensi dan bahan kajian yang cukup penting guna memperluas wawasan berfikir tentang islam.

Buku yang terdiri dari 12 Bab ini merupakan rangkuman dari beberapa tulisan buah pena Maryam Jamilah yang ditulisnya semenjak masih mendapatkan pendidikan non-muslim hingga memeluk agama Islam. Buku ini sarat dengan informasi dan illustrasi aktual tentang dunia Islam yang dibenturkan dengan kultur Barat.

Maryam Jamilah (Maryam Jameelah, yang semula bernama Margaret Marcus) lahir di tengah keluarga Yahudi, dan dibesarkan di tengah kultur Barat sangat tepat untuk dapat merefleksikan sekularisme Barat secara komparatif. Seperti di hampir semua bagian buku ini Maryam dengan sangat jeli melakukan pembedahan anatomi peradaban Barat yang dikomparasikan dengan nilai-nilai luhur ajaran Islam.

Menapaktilasi buah renungan Maryam Jamilah dalam buku ini, kita dapat menangkap sebuah tawaran ‘tuk membumikan Manhajul Islam secara totalitas. Tapi mungkinkan itu dapat maujud di hati ummah, justru di saat yang sangat memprihatinkan propaganda dan mispersepsi Barat terhadap Islam terus dihembuskan untuk menanamkan keragu-raguan terhadap otoritas ajaran Islam.

Buku karya Maryam Jamilah ini memang bukanlah sebuah referensi untuk mencari pembenaran-pembenaran terhadap Islam. Karena Al qur’an sebagai landasan hidup muslim secara aksiomatik benar adanya. Namun, bagi generasi muda islam khususnya akan menjadi sangat penting sebagai bahan renungan dalam menata sebuah struktur pola berpikir dan tindakan yang Islami. Sebab boleh jadi, kita telah terperangkap tanpa sadar ke dalam lingkaran budaya import yang sengaja dikemas oleh musuh-musuh Islam untuk mengacaukan wujud iman kita.

Sebagaimana Barat memandang Islam, melalui kacamata agnostik humanisme - dasar teologi transendental dan absolutisme moral - yang menyatakan bahwa konstitusi Islam adalah “statis”, “reaksioner” dan “mengambang”, dimana sistem ini tidak berevolusi dan berkembang. Membatasi gerak pengikutnya dengan kultur primitif semasa Nabinya hidup. Konsekwensinya, akan menghalangi harapan seluruh ummat manusia untuk “maju” atau mengembangkan kreatifitasnya. Maka lahirlah etika, gaya hidup dan kesenian Barat yang menimbulkan polemik yang amat bertentangan dengan keyakinan kita sebagai seorang muslim.

Cara-cara Barat tidak hanya berbeda secara keseluruhan, tapi juga sangat bertentangan dengan hampir segala aspek ajaran Islam. Namun, ironisnya kaum muslimin yang hidup (atau yang berharap hidup) dengan cara-cara Barat Modern, tidak hanya mempromosikan perbudakan emosi dan jiwa mereka, tetapi juga secara terang-terangan melanggar Sunnah Rasulullah SAW.

Sekarang menurut dugaan orang, Islam telah diganti dengan kultur Barat modern, mereka menerimanya sebagai sesuatu yang lampau, yang tidak dapat dihidupkan kembali.

Sekaitan dengan hal tersebut Maryam menggaris bawahi, sebab utama kesalahpahaman tersebut adalah sulitnya mendamaikan pertentangan antara moral dengan nilai-nilai spiritual. Dengan gamblang Maryam mengetengahkan illustrasi, bagaimana mewabahnya dekandensi moral, kegelisahan jiwa sebagai ekses dari filsafat kebebasan pribadi (individu) yang berakar dari kultur Barat.

Membaca buku Maryam Jamilah ini kita menemukan kesan pembahasan yang melompat-lompat (jumping coclution). Namun hal ini dapat dipahami mengingat buku ini berangkat dari pengalaman dan pergolakan spiritual dari penulisnya yang lebih menonjolkan rasionalisme dan emosional spiritualnya.

Dan, pada bagian yang lain Maryam mencoba membedah profil kaumnya (muslimah) di atas otoritas ajaran Islam yang banyak mendapat sorotan tajam dari misionaris Barat.
Maryam sebagai sosok muallaf muslimah yang telah melalui pergolakan dan perjalanan panjang menuju Jazirah Arab (yang disebutnya sebagai perjalanan pulang menuju rumah sesungguhnya), menyaksikan kenyataan yang bertolak belakang dari tudingan misionaris Barat terhadap ”kemerosotan kaum wanita dalam Islam” dan “kedudukannya yang rendah” di dalam masyarakat muslim.

Maryam menuliskan, “Saya tidak pernah melihat adanya tanda-tanda “kemerosotan kaum wanita muslim”, dan tidak pernah pula menyaksikan adanya perlakuan yang kejam ataupun perlakuan lain yang tidak etis. Baik di Mesir, Sudan, Saudi Arabia atau di Pakistan, tanpa memperhatikan status sosial dan ekonomi. Saat berkesempatan mengunjungi negara-negara Islam, dan bertamu ke rumah keluarga muslim, saya melihat kaum wanita muslim mendapat kasih sayang penuh dari suami-suami mereka, juga kehormatan dan perhatian. Dan, kini sebagai ibu, istri dan sekaligus anggota dari sebuah keluarga besar di Lahore, saya sendiri telah mengalami hal yang sama”.

Menanggapi soal gerakan “emansipasi”, Maryam menuliskan, “gerakan emansipasi” wanita diakui oleh seluruh kaum muslimin, sepanjang terbebas dari konspirasi yang membahayakan terhadap hancurnya pilar-pilar rumah tangga dan keluarga, serta yang pada akhirnya akan menghancurkan masyarakat kita seluruhnya”.

Menurut Maryam, slogan murahan “hak-hak wanita”, “emansipasi”, dan “kemajuan”, hanya menjanjikan seperti tirai asap terhadap kaburnya tujuan nyata. Gerakan emansipasi wanita di negara-negara muslim tidaklah berbeda dalam menimbulkan malapetaka yang terjadi di mana-mana. Akibat selanjutnya yang tidak dapat dielakkan adalah hancurnya rumah tangga, keluarga, dan seluruh kerangka sosial dan moral masyarakat.

Maryam dengan tanpa ragu-ragu menawarkan satu tips tentang profil wanita muslim; “profil wanita muslim diharapkan hidup dalam kebebasan”.  Jilbab (hijab, pen) adalah cara yang sangat tepat untuk mengakhiri semua ini, dimana kaum laki-laki adalah aktor di atas panggung sejarah. Fungsi wanita adalah untuk membantu mereka dari balik layar -suatu motivator- dan mungkin peran yang lebih rendah, tapi tidak sesuatu yang hina untuk memelihara jalan hidup kita” (halaman 92).

Secara konseptual ungkapan Maryam itu lebih bertitik tolak pada sebuah bentuk penyerahan diri terhadap kebenaran mutlak ajaran Islam.

Tapi apa yang dapat saya katakan ketika mencermati dan mencoba merenungkan kembali pernyataan Maryam itu : mungkin sudah menjadi kodrat alam kaum laki-laki memiliki tabiat kepemimpinan (refleksi transformasi kesahihan imamah dalam Shalatuljamaah), dan dapat memerankannya sedikit lebih baik, tetapi pada kondisi dan saat bersamaan, menurut saya, hakekat kepemimpinan justru berada di tangan wanita. –Suatu motivator-, bukankah akan menjadi peran yang sangat ekslusif ?

Akhirul kalam, hanya kepada Islamlah sebagai orientasi labuhan hati. Karena di sana tersimpan sebuah janji yang hakiki akan sebuah kedamaian dan kebahagiaan yang tidak akan pernah pupus. Di dalam masyarakat Islam tidak akan ada pemikiran yang membingungkan seperti terhadap perkara yang benar maupun yang salah. Dan tentu saja di dalam masyarakat Islam juga terdapat manusia yang menderita. Duka cita adalah bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan ini, sebagaimana adanya kegembiraan. Wallahu A’lam Bissawad @ Andi Himyatul Hidayah dan Andi Surya Amal (Renungan, Medio April 1997).

Baca juga : Short Biography of Maryam Jameelah
----------------------------------------------------------------------

No comments:

Post a Comment

Note: only a member of this blog may post a comment.